SAUNG PANGIUHAN BARUDAK (SPB) JAWA BARAT
REPLIKASI SAUNG PANGIUHAN BARUDAK BANDUNG
(Gerakan Anti Pornografi dan Prilaku Seks Bebas)
OLEH
DR.BAMBANG
RUSTANTO,M.HUM
SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN
SOSIAL
BANDUNG PEBRUARI 2018
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
pornografi
dewasa ini semakin marak terjadi, hampir di seluruh dunia bahkan termasuk di Indonesia.
Pornografi
bisa dikatakan memiliki usia yang sama dengan peradaban manusia.
Perkembangannya dari masa ke masa mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Adapun pornografi sering
dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang yang
dipertontonkan (khususnya pada
perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau pelihat
terangsang layaknya manusia normal.
Istilah lain yang tidak jauh berbeda arti dengan pornografi adalah ‘pornoaksi’. Pengertian pornoaksi adalah
perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan atau erotika di muka umum.
Kemajuan
Teknologi terutama internet, merupakan salah satu
kemajuan zaman , yang dapat diakses dengan mudah melalui computer (laptop) , telepon seluler (handphone), gawai (gadget) dan
alat elektronik lain. Siapapun tak lagi memandang bangsa, jenis kelamin maupun
usia. Jutaan orang menggunakan internet
setiap harinya, untuk berbagai keperluan: bisnis, mengikuti berita dunia
terkini, mencari tahu prakiraan cuaca, mempelajari negara-negara asing,
informasi perjalanan, berkomunikasi dengan keluarga dan teman di berbagai
belahan dunia, dan keperluan lainnya. Internet yang pada mulanya hanya dikembangkan
untuk kepentingan militer, riset dan pendidikan terus berkembang memasuki seluruh
aspek kehidupan umat manusia. Kebebasan berekspresi di dunia maya melalui
internet juga turut berpengaruh dalam
penyebaran informasi tanpa batas.
Saat ini, internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru
berupa masyarakat milinium dengan
kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang hampir tanpa batas.
Penggunaan
internet bukan lagi menjadi dominasi orang tertentu
saja, seperti orang dewasa, berpendidikan tinggi dan tinggal di kota besar.
Namun sudah menyeluruh ke pelosok tanpa
kecuali. Bahkan hingga ke desa-desa, internet sudah dikenal dengan baik.
Demikian juga dengan penggunaannya. Sayangnya, fenomena mengakses pornografi
melalui internet juga merambah kemana-mana, sehingga menjadi masalah yang
sangat besar dan serius. Betapa tidak, bila dahulu untuk dapat mengakses segala
sesuatu yang berkaitan dengan pornografi sangat terbatas di kalangan tertentu
saja, terutama berkaitan dengan usia dan media. Maka saat ini hal tersebut
sudah tidak menjadi halangan lagi, siapapun bebas dan boleh mengakses, hampir
tanpa kontrol sama sekali, termasuk oleh anak dan remaja sekalipun. Sepanjang
seseorang dapat mengakses internet, maka orang tersebut dengan sangat mudah
akan dapat membuka situs-situs yang berkaitan dengan pornografi.
Pornografi
online, mengapa orang mencari pornografi lewat
internet? Jawabannya adalah karena pengguna komputer dapat menonton
bahan-bahan cabul dan pornografi tanpa
harus sembunyi-sembunyi mendatangi toko buku murahan atau bahkan menyelinap ke
ruang belakang toko video. Semua orang dapat dengan leluasa menikmati
bahan-bahan cabul dan pronografi di
rumah, di kantor atau dimana saja. Suatu fakta dan kenyataan yang sangat
menyedihkan dan mengejutkan, adalah bahwa banyak pengguna atau penonton
pornografi tersebut adalah anak dan remaja, yang sebenarnya secara hukum
dilarang membeli melihat porno atau
menyewa video porno. Namun justeru mereka ini dapat menontonnya di rumah dan di
sekolahya dengan menyentuh mouse di
komputernya atau perangkat elektronik lainnya.
Anak dan Remaja terbanyak mengunjungi situs-situs porno di
internet secara teratur tanpa sepengetahuan orang-tuanya. Bahkan, diberitakan
oleh The Detroit News menyatakan
bahwa ”Lebih dari dua perlima anak-anak
berlangganan ke suatu situs web porno atau jasa internet lainnya, sekalipun
hampir 85 persen orang-tua telah menetapkan larangan untuk itu”. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Kaspersky
Lab, terkait pornografi menguak fakta
mencengangkan. Lebih dari 10 persen anak usia 10 tahun telah menyaksikan
pornografi melalui internet. Penelitian tersebut mengungkap pula bahwa 11
persen anak usia 10 tahun menyaksikan pornografi dari berbagai perangkat
elektronik yang ada di rumah mereka, seperti telepon seluler (handphone), tablet, bahkan komputer.
Seperti dikutip dari Daily Mail
(10/2/2017), penelitian tersebut dilakukan terhadap 1.000 anak usia antara 10
hingga 15 tahun untuk mengetahui kebiasaan mereka ketika berselancar di dunia
maya.. Selain itu, survei ini juga menemukan
satu dari tiga anak usia 10 tahun memiliki ponsel pintar yang telah terkoneksi dengan internet, daan 51 persen
anak sudah memiliki komputer tablet
sendiri.Angka yang jauh lebih fantastis terjadi pada anak usia 13 tahun, di
mana 86 persen dari mereka telah menggunakan ponsel dan 60 persen lainnya punya
komputer
tablet.Sekitar 60 persen anak dari seluruh kelompok usia tersebut
mengaku mereka mampu menyembunyikan apa yang telah mereka lihat di internet
dari orang tua mereka.
Kemen-PPA, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
yaitu Yohana Yembise
(liputan6.com) terkejut melihat data pornografi yang diakses anak dan remaja.
Di setiap kota besar di Indonesia terdapat 25 ribu anak dan remaja setiap
harinya membuka situs-sinus porno. Hal itu didapatnya saat mendapat
kunjungan seorang rekan dari Thailand. Mereka tengah mengembangkan sistem yang
bisa meng-capture orang
yang tengah membuka situs-situs porno melalui
ponsel. "Saat saya minta buka di Jakarta, terlihat ada 25 ribu anak dan
remaja yang sedang membuka situs-situs porno. Jakarta itu penuh dot merah,"
ujar Yohana di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
(4/5/2016). Tak sampai disitu. Sistem itu juga bisa melihat siapa saja yang
sedang mengakses materi pornografi yang berbasis video. Angkanya pun tidak
kalah besar. Anak dan Remaja , ketika ditanya apakah mereka pernah mengunggah
sesuatu yang negatif dan kemudian menyesalinya, sebanyak 26 persen mengakui hal
itu dan mengklaim menyesal. Mereka yang telah mengunggah hal-hal negatif di
pornografi online mengatakan "tidak
membayangkan" bagaimana unggahan itu akan mempengaruhi orang lain dan
bagaimana itu bisa menganggu mereka.Enam persen anak dan remaja mengatakan
mereka terkejut ketika hal yang mereka unggah menjadi viral di kalangan teman-teman mereka.
Kondisi di Indonesia , Menurut Ketua
Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,
(Media Indonesia 7/5/ 2016) bahwa Indonesia merupakan satu di antara
lima besar negara yang pengguna internetnya mengunduh konten-konten vulgar dan
porno.
Provinsi Jawa Barat termasuk sepuluh besar provinsi di Indonesia serta Kota
Bandung termasuk lima besar kota di
Indonesia dari jumlah penikmat produk pornogradi yang asusila
itu dan setiap tahun semakin meningkat.
Apabila pada tahun 2013 Indonesia
berada di peringkat enam pengakses situs porno, tahun 2014 meningkat menjadi
peringkat ketiga, dan pada tahun 2015 menjadi
peringkat kedua, setelah Amerika Serikat. Sementara itu data Komisi
Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan, bahwa dari 4.500 anak dan remaja di
12 kota di Indonesia, 97 persennya pernah melihat situs porno, begitu juga di
kalangan siswa sekolah dasar dan menengah. Dari 2.818 siswa, 60 persennya
pernah melihat tayangan yang tidak senonoh itu. (Republika, 11/10/2016) Menurut
komisi tersebut, pornografi merupakan perilaku menyimpang yang terjadi pada
anak dan remaja yang kurang mendapatkan pengawasan dan perhatian orang tua
maupun guru. Disebutkan, bahwa perilaku menyimpang terjadi pada anak dan remaja
karena aktivitas yang tidak terkontrol, dikarenakan orang tua yang terlalu
sibuk, tidak ada komunikasi dan tuntutan terlalu tinggi, kekerasan pada anak
dan remaja, tidak tahu potensi anak dan remaja, ambisi orang tua, dan guru
serta diskriminasi.Saat ini para orang tua sedang berlomba dengan predator
seksual anak dan remaja yang berkeliaran di luar.
Dampak Pornografi : dapat mengakibatkan
dampak buruk, baik bagi orang yang menonton (menikmatinya) maupun
kemudian menimbulkan akibat yang lebih luas, yaitu keluarga, masyarakat dan
bangsa. Pornografi dapat merusak otak. Terutama bagian otak yang disebut Pre
Frontal Cortex (PFC). Otak bagian ini berfungsi
sebagai “Direktur” dari otak yang merupakan
fungsi tertinggi dari otak manusia. Beberapa
Dokter Jiwa berpendapat bahwa
pornografi dapat menyulut kecanduan yang jauh lebih sulit ditanggulangi
daripada kecanduan narkoba. Perawatan bagi pecandu narkoba biasanya diawali
dengan detoksifikasi untuk menyingkirkan zat itu dari tubuh. Tetapi, kecanduan
pornografi, jelas Dr. Mary Anne
Layden ”menghasilkan gambar mental yang tertanam secara permanen dalam
pikiran si pengguna dan menjadi bagian dari proses kimiawi otak”. Itulah
sebabnya mengapa individu-individu dapat mengingat kembali secara jelas dan
hidup gambar-gambar pornografi yang dilihat bertahun-tahun yang silam. Ia
menyimpulkan, ”Ini adalah zat adiktif pertama yang tidak dapat
didetoksifikasi.” Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa masalah
pornografi saat ini memasuki tahap yang lebih parah, banyak kasus pecandu video
porno telah memasuki tahapan aksi (acting
out), dimana mereka mempraktikkan apa yang dilihat dalam tindakan nyata.
Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan merusak tatanan sosial serta berbahaya
bagi anak dan remaja. Dewasa ini, semakin sering disaksikan di berita, ada saja
yang melakukan pelecehan seksual di ruang publik, seperti bus atau angkutan
kota. (Antara, 8/3/2017). Untuk memerangi pornografi, KPAI mendesak pemerintah
untuk terus-menerus melakukan upaya pencegahan dan penindakan, khususnya untuk
melindungi anak dan remaja. Caranya dengan tidak membiarkan konten video porno
beredar masif di masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam UU RI no.44
tahun 2008, segala bentuk tindakan yang menyangkut pornografi adalah sebuah
pelangaran hukum. Pemerintah
telah berupaya keras untuk menangani masalah pornografi, salah satunya adalah
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Namun, apakah implementasi dari peraturan tersebut sampai saat ini sudah cukup
efektif memberantas, menghilangkan atau mungkin menurunkan masalah pornografi?
Untuk lebih mengefektifkan penanganan masalah pornografi ini, sangat diperlukan
adanya Perda Jawa Barat yang berkaitan
erat dengan upaya pencegahan dan penindakan masalah pornografi, yang lebih
langsung dan membumi di daerah, termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Provinsi
ini merupakan wilayah penyangga ibukota negara, sehingga sangat strategis dalam
segala aspek kehidupan.
Peran Masyarakat, upaya
pencegahan dengan menumbuhkan kesadaran terhadap bahaya pornografi ini dapat dicapai juga melalui peran para pakar dan praktisi
pendidikan agar dapat menghimbau dan memelopori tumbuh-kembangnya pendidikan
budi pekerti, penanaman nilai-nilai keagamaan dan pendidikan karakter bagi anak
dan remaja. Selama ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah bekerja sama
dengan Kemenkominfo melakukan aksi
pemblokiran situs porno di internet, begitu pula terhadap produk media cetak
dan elektronik tentang pornografi seperti majalah namun tetap
saja kini kian marak.Seyogyanya ada
keberanian pihak aparat hukum dan pengawasan untuk melakukan penindakan. Yang
kita perlukan adalah keseragaman paham untuk memerangi bahaya dan dampak
pornografi. Jika setiap pihak telah sepakat bahwa pornografi itu perlu ditanggulangi, maka setiap individu
dapat memberikan saran dan kontribusi masing-masing sesuai dengan peranannya di
masyarakat. Kebijakan ini sesungguhnya merupakan ajakan untuk bersinergi bagi
para pendidik, para pemuka agama, bagi para pakar teknologi informatika, bagi
orang tua, bagi para aparat pemerintahan, bagi para pekerja seni, dan setiap
elemen masyarakat untuk menyeragamkan tujuan dan memahami bahwa memang
pornografi bukanlah modal yang relevan
untuk membangun wilayah. Sehingga pada akhirnya, setiap dari kita dapat menjadi
bagian dari solusi dari permasalahan pornografi khususnya untuk anak dan
remaja.
Peran Ulama, dalam hal ini Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menuding Kemenkominfo tidak serius bekerja. "Tidak
disediakannya dana secara cukup dalam perencanaan anggaran tahunan oleh menteri
bersangkutan menunjukkan menteri dan jajarannya tidak serius menangani bahaya pornografi,"
kata Wakil Sekjen MUI Pusat Tengku Zulkarnaen. Karenanya dalam upaya mengatasi tindakan pornografi diperlukan aturan yang
kuat dan sosialisasi serta penerapan yang jelas, sehingga harkat dan martabat
kemanusiaan dan perlindungan terhadap warga negara atas akses pornografi dapat
dibakukan dengan aturan-aturan yang memuat prinsip, menjunjung tinggi
nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama.
Peran
Pemerintah
pentingnya peran sosial khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung sebagai aparat pemerintah daerah , penegak
hukum, pendukung kesadaran masyarakat , sebagai lembaga kontrol sosial, serta
peranan dari masing-masing individu dalam menyadari besarnya bahaya pornografi
dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari bahaya besar pornografi , berarti
memahami besarnya resiko dan akibat yang dihasilkan dari pornografi itu
sendiri. Upaya penanganan terhadap bahaya pornografi ini dapat dilakukan
melalui dua hal. Pertama, penanganan
Internal, yaitu: meningkatkan ketahanan diri dan keluarga terutama pada anak
dan remaja. Kedua, penanganan
Eksternal, yaitu : Adanya regulasi yang tegas dan payung hukum yang memadai.
Sebenarnya telah ada undang-undang yang dapat mencegah adanya
pornografi melalui media massa (cetak dan elektronik), yaitu UU No. 44 tentang anti pornografi dan pornoaksi (APP) dan UU no. 11 tentang informasi dan transaksi
elektronik (ITE) serta KUHP pasal 282 dan 283 tentang pelanggaran kesusilaan. Namun bahaya pornografi tetap mengancam anak dan remaja di Jawa Barat. Untuk itu diperlukan
adanya payung hukum untuk mencegah dan menangani korban pornografi ini Pemerintah Daerah
Kabupaten juga dapat mengefektifkan pelayanan masyarakat
melalui Program Perlindungan Anak Melalui Saung Pangiuhan Barudah (SPB) .
1.2. Permasalahan
Penanganan masalah yang terjadi berkaitan dengan
pornografi harus dilakukan secara komprehensif dan multisektoral. Upaya
pencegahan (preventif), penegakan (represif) dan rehabilitatif, dan pendampingan sosial harus dilakukan dengan simultan dan proporsional,
serta harus memperhatikan pijakan sosiokultural setempat, khususnya budaya Sunda.Untuk
itu, Program SPB yang beerkaitan
Dengan Pornografi dimaksudkan untuk mencegah merebaknya masalah pornografi,
baik secara primer, sekunder maupun tersier. Selain itu juga untuk menindak
aksi-aksi pornografi yang merusak dan tidak bertanggung jawab, untuk memotong
mata rantai pornografi, dan mengembalikan para korban pornografi yaitu anak dan remaja kepada masa depannya yang lebih baik.
1.3. Manfaat Program.
Dengan ditetapkannya Program SPB ini berkaitan dengan
pornografi, maka akan membawa manfaat bagi berbagai pihak, yaitu:
a. Bagi Anak dan Remaja
Dengan
adanya Program SPB ini
berkaitan dengan pornografi yang lebih membumi dan bernuansa sosiokultural
Sunda yang sesuai dengan tatanan masyarakat Sunda, akan mencegah anak dan
remaja sebagai generasi penerus bangsa dari kehancuran masa depannya akibat
pornografi. Dengan demikian, anak dan remaja Kabupaten Bandung dapat
menjadi generasi yang handal.
b. Bagi Keluarga dan Masyarakat
Keluarga akan kembali harmonis bebas dari kekhawatiran terhadap rusaknya
moral anak akibat pornografi. Dengan keluarga yang harmonis, maka pada
gilirannya akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis juga.
c.. Bagi Bangsa dan Negara
Dengan generasi muda yang handal, terbebas dari kerusakan moral akibat
pornografi, akan menjadikan masa depan Bangsa Indonesia aman dan
sejahtera.
1.4.. Landasan Hukum
1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi
Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000
tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
3.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3890);
4.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor ...);
5.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor …);
6.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
7.
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
8.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
9.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
10.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak.
11.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara ………. )
12.
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 Tentang
Kesejahteraan Sosial.
13.
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
14.
Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
15.
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4928);
16.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
17.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
18.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2011 tentang
Pembinaan, Pendampingan, dan Pemulihaan Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Atau
Pelaku Pornografi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 86 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5273);
19.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4828);
20.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat
dan Tata Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk
Pornografi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 17 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5501);
21.
Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2012 tentang Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi;
22.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa barat Nomro 10 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Barat Tahun 2008 Nomor 9 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 10);
23.
Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat No,1 tahun 2018 tentang Pencegahan dan Penanganan
Pornografi ( Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Nomor 2 , Tambahan
lembaran daerah Provinsi Jawa Barat No,12)
24.
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.10 tahun 2008
tentang Penanggulangan Kemiskinan di
Kabupaten Bandung
25.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No.5 tahun 2009 tentang Sistem Pendidikan Di Kabupaten Bandung
26.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No, 8 tahun 2009 tentang
Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Aanak Balita (KIBLLA) Di Kabupaten
Bandung
27.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No,16 tahun 2010 tentang Perencanaan Pembangunan Desa di Kabupaten
Bandung
28.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No,15 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
29.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No 08 tahun 2014 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Korban Perdagangan orang
30.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No, 5 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Ketentraman, Ketertiban Umum
dan Perlindungan Masyarakat
31.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No, 07 tahun 2016 tentang
Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2016-2021
32.
Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No. 3 tahun 2016 tentang Sistem Kesehatan Daerah
1.5. Pengertian dan Ketentuan Umum
Pengertian dan Ketentuan Umum dalam Program Saung
Pangriungan Barudak Kabupaten Bandung yang dimaksud dengan:
1.
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2.
Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi
yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan
langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan
komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan
lainnya.
3.
Pembuatan Produk Pornografi adalah perbuatan memproduksi, membuat,
memperbanyak, atau menggandakan Produk Pornografi.
- Penyebarluasan Produk Pornografi adalah perbuatan menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan Produk Pornografi.
- Penggunaan Produk Pornografi adalah perbuatan menggunakan, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan Produk Pornografi.
- Pencegahan Pornografi adalah segala upaya untuk melakukan pencegahan pembuatan dan penyebaran, serta pemanfaatan pornografi baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintahan .
- Penindakan Pornografi adalah segala upaya untuk melakukan penindakan terhadap pelaku pembuatan dan penyebaran, serta pemanfaatan pornografi baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintahan
- Penanganan Pornografi adalah segala upaya untuk melakukan penanganan terhadap korban pembuatan dan penyebaran pornografi baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintahan
- Perlindungan Sosial adalah serangkaian kegiatan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan jati diri setiap orang yang menjadi korban atau anak yang pelaku pornografi ke arah yang lebih baik sehingga dapat berkembang secara sehat dan wajar baik fisik, kecerdasan otak, mental dan spiritual.
- Pendampingan Sosial adalah suatu upaya atau proses yang dimaksudkan untuk memberdayakan diri setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga dapat mengatasi permasalahan dirinya sendiri.
- Rehabilitasi Sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental dan sosial sehingga setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi dapat berkembang secara wajar.
- Rehabilitasi Fisik dan Mental adalah upaya untuk mengembalikan kondisi kesehatan jasmani dan jiwa termasuk inteligensia dan spiritual setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga mampu hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
- Rehabilitasi Sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi sosial setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga mampu untuk kembali ke keluarga dan masyarakat dan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
14.
Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
15.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun.
16.
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga.
17.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama
di sekitar lingkungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang
berperan dalam pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
18.
Tenaga Kesehatan/Medis adalah tenaga kesehatan/medis yang memiliki lisensi
sertifikasi dari lembaga sertifikasi kesehatan yang diakui oleh pemerintah.
19.
Tenaga Pendidik/Guru adalah tenaga pendidikan/guru yang memiliki lisensi
sertifikasi dari lembaga sertifikasi pendidikan yang diakui oleh pemerintah.
20.
Tenaga Rohaniawan/Ulama adalah tenaga rohaniawan/ulama yang memiliki
lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi keagamaan yang diakui oleh
pemerintah.
21.
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) adalah tenaga kesejahteraan sosial (TKS) yang
memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi kesejahteraan sosial yang
diakui oleh pemerintah.
22.
Tenaga Relawan Sosial adalah tenaga relawan sosial yang memiliki lisensi
sertifikasi dari lembaga sertifikasi kerelawanan sosial yang diakui oleh
pemerintah.
23.
Tenaga Bantuan Hukum adalah tenaga bantuan hukum yang memiliki lisensi
sertifikasi dari lembaga sertifikasi
hukum yang diakui oleh pemerintah.
24.
Tenaga pendamping sosial adalah tenaga pendamping sosial yang memiliki
lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi pendamping sosial yang diakui oleh
pemerintah.
25.
Pekerja Sosial Profesional (Peksos) adalah: pekerjaan sosial profesional yang memiliki
lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi pekerjaan sosial yang diakui oleh
pemerintah.
26.
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) adalah lembaga kesejahteraan sosial sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai kesejahteraan sosial yang
berada di tingkat Kabupaten/Kota.
27.
Lembaga Pendidikan/Sekolah adalah satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem pendidikan nasional, yang
berada di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
28.
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) adalah organisasi non pemerintah bervisi
kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan swadaya oleh Warga Negara
Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah
daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik yang berada di
tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
29.
Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(P2TP2A) adalah unit pelayanan
teknis di bawah dinas pemberdayaan perempuan dan anak yang memberikan
perlindungan dan terapi psikososial kepada perempuan dan anak yang menjadi
korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah lainnya yang
berada di tingkat Kabupaten/Kota.
30.
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) unit pelayanan teknis di bawah Dinas Sosial yang
memberikan konsultasi dan terapi psikososial kepada perempuan dan anak yang
menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah
lainnya yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
31.
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) adalah unit pelayanan teknis di bawah kepolisian
Republik Indonesia yang memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada
perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban
pornografi dan masalah lainnya yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
32.
Sistem Layanan Rujukan Terpadu adalah unit pelayanan teknis dibawah pemerintah
desa yang memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada perempuan dan anak
yang menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah
lainnya yang berada di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
BAB
II
KAJIAN
LITERATUR
2.1.
Seks dan Kekuasan
1. Non Refresif.
Foucault,
kekuasaan harus dipahami sebagai beragam dan banyaknya hubungan-hubungan
kekuatan yang melekat pada bidang
hubungan-hubungan tersebut dalam organisasinya. Dan permainan kekuasaan akan
mampu mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui
perjuangan dan pertarungan terus menerus. (Foucault, 1976: 121-122) Jean-Louis
Chevreau dalam bab pengantar buku History of Sexuality menuliskan bahwa
kekuasaan bukan sekedar apa yang dilarang, atau sesutu yang berkata tidak, atau
bahkan sesuatu yang mengucilkan. Hubungan antara seks dan kekuasaan pada
dasarnya tidak menindas. Pada kenyataannya, justru keduanya menghasilkan suatu
wacana tentang seksualitas yang terus menerus bertambah banyak dan meluas,
sesuai dengan semangat postmodernisme yang memberikan ruang pada seks dan
kekuasaan untuk terus berkembang.
2. Tersebar Dimana-Mana.
Michel
Foucault (Foucault 1976: 76) dalam bukunya History of Sexuality,
menjelaskan bahwa dalam seksualitas dibangun sebagai perlengkapan atau mesin
yang diperuntukan untuk memproduksi kebenaran, artinya wacana kekuasaan
memiliki fungsi untuk menampung atau menyembunyikan kebenaran. Seks kemudian
tidak hanya mengenai sensasi dan kenikmatan, tetapi di dalam seks juga
dipertaruhkan masalah benar dan salah. Dan mengetahui apakah seks itu
benar atau berbahaya membuka peluang
dominasi dalam interaksi kekuasaan yang kemudian akan berubah menjadi
narasi-narasi besar. Foucault, masih dalam bukunya History of Sexuality jilid I, menegaskan bahwa kekuasaan
bertentangan dengan tafsiran kekuasaan sebagai asas pemersatu atau sebagai asas
yang terpancar dari satu sumber. Bagi Foucault, kekuasaan berfungsi sebagai suatu model strategis yang
canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro
yang terpisah-pisah. Foucault mengartikan kuasa sebagai “nama yang diberikan
kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu.” Kuasa tidaklah terpusat di satu titik, namun
tersebar, berpencar dan hadir dimana-mana. Ia beroperasi melalui hegemoni norma,
teknologi, politik, dan pembentukan tubuh-jiwa manusia.
3. Dikontruksi.
Seno Joko Suyono
(2002 : 494) dalam bukunya yang berjudul Tubuh yang Rasis mengatakan dalam
pemikiran Foucault terdapat paradigma prasangka prasangka bahwa seks adalah instinctual
disturbance, penyebab laten segala penyimpangan yang mungkin terjadi pada
diri individu pasangan suami istri, anak, dan keluarga. Uraian Foucault
tersebut merupakan ujung dari pendapatnya di dalam buku The History of
Sexuality jilid I, bahwa seksualitas di zaman modern bukan sesuatu yang natural
given lagi, melainkan suatu bentuk kontruksi. Kemudian masih dalam buku
yang sama, Seno Joko Suyono menyimpulkan bahwa tubuh merupakan tempat paling
esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya kekuasaan dalam
masyarakat modern. Tubuh adalah tempat
dimana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro mempertatutkan
dirinya dengan sirkulasi kekuasaan impersonal dalam skala besar. Bahkan lebih
jauh, tercapai suatu kejelasan bagaimana suatu tubuh sampai digolong-golongkan,
dikontitusi, ditematisasikan, dan dimanipulasi oleh kekuasan. Haryatmoko (2012:
2) dalam tulisannya yang berjudul Kekuasaan- Pengetahuan sebagai
Rezim Wacana menjelaskan bahwa tubuh adalah sasaran kekuasaan, dengan
tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan, kepatuhan demi produktivitas.
Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang berdisiplin agar menjadi
tenaga yang produktif. Maka tekanan terhadap normalisasi dan pendisiplinan
tubuh menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran. Oleh karena itu,
kekuasaan kemudian membutuhkan format wacana yang mengatur hubungan kekuasaan
dan seks seperti larangan, sensor, atau penafikan.
4. Ketubuhan
Masih dalam tulisan yang sama, Haryatmoko menerangkan bahwa
sejarah seksualitas ingin membangun sejarah mengenai lembaga-lembaga yang
terlibat dalam memproduksi kebenaran dan perubahan-perubahan yang berlangsung
dalam lembaga tersebut. Maka kemudian orang berbicara tentang seks dari tempat
dan sudut pandang tertentu akan menunjukan sebarapa besar kepentingan yang
terlibat. Hal ini kemudian membuat ‘rasa ingin tahu’ dapat dilokalisir untuk
menentukan benar atau salah suatu perilaku seksual. Oleh karena itu, kemudian
banyak institusi yang memiliki kepentingan untuk mengatur seks. Wacana
kebenaran tentang seks mengungkap cara bagaimana ‘ingin tahu’ tidak terlepas
dari seks, sehingga ada banyak lembaga yang kemudian bekerja mengatur
kehidupan. Disiplin tubuh dan regulasi penduduk adalah cara lembaga kekuasaan
atas kehidupan berjalan. Tubuh menjadi mesin yang diarahkan ke peningkatan
kemampuan, perkembangan kegunaan, kepatuhan, integritas ke dalam sistem
pengawasan yang efektif fan ekonomis. Semua hal ini dijamin oleh prosedur
kekuasaan yang ditandai dengan disipilin. Pada akhirnya tubuh diarahkan pada
proses biologis, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan, harapan hidup,
singkatnya mulai mengarah pada biopolitik penduduk. Hidup menjadi bagian arena
kontrol pengetahuan dan campur tangan kekuasaan, tanggung jawab atas kehidupan
memberi akses kekuasaan masuk sampai pada tubuh. Tubuh adalah politik karena
seks. (Foucault 1976: 188) Masih dalam bukunya History of Sexuality,
Foucault menjelaskan bahwa perlahan-lahan telah muncul spesifikasi baru
individu-individu yang disebabkan oleh perburuan terhadap seksualitas yang
menyimpang dari aturan kekuasaan. Sodomi, sebagaimana yang dikenal pada saat
itu dalam hukum perdata ataupun hukum agama, adalah salah satu jenis dari
tindakan terlarang. Pada abad ke-19, homoseksual sudah menjadi tokoh yang memiliki
suatu masa lalu suatu kisah pengalaman dan suatu masa kanak-kanak, suatu sifat,
suatu gaya hidup, suatu morfologi, berikut anatomi yang berani, dan mungkin
fisiologi yang penuh misteri. Namun seksualitas tidak pernah terpisahkan dari
sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada kebiasaan yang
mengandung dosa. Michel
Foucalt, Seks dan Kekuasaan, Terj. Forum Jakarta Paris (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 2008)
2.2.
Pornografi Dalam Budaya
Pornografi dan seksualitas ibarat dua sisi dari
satu koin. Di Indonesia seksualitas di
satu sisi, norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang
bersifat spesifik secara sejarah dan budaya. Sedangkan di sisi lain, sifat
alamiah manusia (fungsi biologis-prokreasi). Sikap masyarakat Indonesia terbuka
terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosio-kultural yang berubah dari
waktu ke waktu.
Tarawangsa merupakan salah satu seni Budaya Sunda juga terbuka dalam
menunjukan aktiviatas seksualitas dalam tarian-tariannya. Tarawangsa
hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes ( sekarang Provinsi Banten). Alat musik tarawangsa dimainkan
dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog.
Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua
kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu
tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag,
Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut
dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula
diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri (perempuan).
Tarawangsa di Rancakalong menurut
cerita rakyat secara turun-temurun asal-usulnya antara lain dimulai pada zaman
kekuasaaan Mataram (1550). Kehidupan masyarakat di Rancakalong mengalami
bencana kelaparan, dikerenakan tanaman padi yang ditanam selalu mengalami gagal
panen akibat kemarau panjang dan terus menerus diserang hama. Banyak sekali
warga Rancakalong meninggal dunia pada waktu itu, karena bencana kelaparan.
Dengan adanya bencana tersebut masyarakat Rancakalong mencoba untuk menanam
tanaman alternatif pengganti padi yaitu tanaman Hanjeli. Namun sayang,
setelah tanaman pengganti padi berhasil banyak di produksi, pada suatu ketika
menimbulkan malapetaka. Seorang anak terperosok ke dalam tumpukan biji Hanjelii
di sebuah tempat penggilingan hingga tewas. Sejak
terjadinya peristiwa nahas tersebut, masyarakat berniat kembali menanam padi
sebagai makanan pokok. Namun untuk itu masyarakat mengalami kesulitan untuk
mendapatkan bibit Padi yang berkualitas
baik. Masyarakat kemudian bermusyawarah
untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Akhirnya mereka mengirim
utusan untuk pergi ke Mataram untuk mendapatkan benih padi. Singkat cerita,
para utusan tersebut berhasil mendapatkan benih padi dengan kualitas baik dari
Mataram.
Dalam pertunjukannya ini
biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Mereka menari secara teratur.
Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para Putri (penari perempuan)
Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan roh para
leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut
menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali
gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan
simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan
hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan
hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak
heran apabila para penari perempuan sering mengalami trance (tidak sadarkan diri) melenggak-lenggok dengan
lemah gemulai yang mengundang gairah penari laki-laki . (Wikipidia dan Dinas
Pariwisata Kabupaten Sumedang, 2015)
2.3. Pengertian Pornografi
1.
Pengertian:
Pornografi
sendiri
berasal dari bahasa Yunani “pornographos”
yang berarti menulis atau menggambar tentang pelacur perempuan. Adapun pornografi
sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang
yang dipertontonkan (khususnya pada
perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau pelihat
terangsang layaknya manusia normal.
Istilah lain yang tidak jauh berbeda arti dengan pornografi adalah ‘pornoaksi’. Pengertian pornoaksi adalah
perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan atau erotika di muka umum.
Ciri
yang pertama
adalah ‘pornografi’ itu adalah perbuatan seks yang dilakukan demi seks itu
sendiri. Ciri yang kedua adalah adanya
rangsangan nafsu birahi dari penonton. Hal ini dilakukan secara ofensif dan
agresif. Ciri yang ketiga adalah adanya peningkatan daya rangsangan secara
otomatis secara tidak terbatas. Ciri
yang keempat
adalah usaha untuk membawa penonton memasuki dunia khayal.(Soeryono, 1990)
2.
Pendapat Ahli.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) disebutkan, Pornografi adalah penggambaran
tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan
nafsu birahi. Sedangkan W.F. Haung (Soeryono,1990)
menyebutkan pornografi adalah penggunaan refresentasi perempuan (tulisan,
gambar, foto, video dan film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang
yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya
sebagai “objek” seksual laki-laki.
Ernst. (Soeryono,1990) Didefinisikan
oleh Ernst sebagai berikut: Pornografi
adalah berbagai bentuk atau sesuatu yang secara visual menghadirkan manusia
atau hewan yang melakukan tindakan sexual, baik secara normal ataupun abnormal.
Peter Webb (Soeryono,1990)
Definisi pornografi dengan menambahkan bahwa pornografi
itu terkait dengan obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar eroticism.
Menurut Webb, masturbasi dianggap
semacam perayaan yang berfungsi menyenangkan tubuh seseorang yang melakukannya.
UU RI Nomor 44 Tahun 2008,
Tentang Pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat. MUI Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan satu
definisi yang hampir sama. Yaitu pornografi adalah Menggambarkan, secara
langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan,
gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan, baik melalui media cetak
maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi.
2.4. Ragam Pornografi.
1. Pornografi Diluar Negeri.
Untuk Amerika Serikat saja, Presiden
Amerika, Lyndon Johnson pada tahun 1967 merasa perlu untuk membuat komisi
nasional untuk mengetahui ragam pornografi yang berkembang di masyarakat.
Komisi yang kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Meese dipimpin oleh Jaksa
Agung Amerika waktu itu, yaitu : Edwin Meese. Komisi ini bertugas untuk
mengidentifikasi apa saja muatan pornografi yang terdapat di masyarakat. Pada
tahun 1986, komisi ini berhasil mengidentifikasi lima jenis pornografi Sexually
violent materiayaitu materi pornografi dengan menyertakan kekerasan. Jenis
pornografi ini tidak saja menggambarkan adegan seksual secara eksplisit tetapi
juga melibatkan tindakan kekerasan.Nonviolent material depicting degradation,
domination, subordination,or humiliation. Meskipun jenis ini tidak menggunakan
kekerasan dalam materi seks yang disajikannya, di dalamnya terdapat unsur yang
melecehkan perempuan, misalnya adegan melakukan seks oral, atau “dipakai” oleh
beberapa pria, atau melakukan seks dengan binatang nonviolent and nondegrading
materials adalah produk media yangmemuat adegan hubungan seksual tanpa unsur
kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan. Contoh pornografi jenis ini adalah
adegan pasangan yang melakukan hubungan seksual tanpa paksaan.Nudity, yaitu
materi seksual yang menampilkan model telanjang,Child Pornography adalah produk
media yang menampilkan anak atau remaja sebagai modelnya.Dari limakategori
pornografi tersebut, dalam perkembangannya kemudian ragam pornografi secara
muatan ini disederhanakan menjadi tiga jenis yaituSoftcore,
Hardcore,danObscenity(kecabulan). Pada pornografi Softcore, biasanya hadir
materimateri pornografi berupa ketelanjangan, adeganadegan yang mengesankan
terjadinya hubungan seks (sexually suggastve scenes) dan seks simulasi
(simulated sex). Untuk Hardcorekita di
Indonesia mengenalnya sebagai triple X (X rated), materi orang dewasa (adult
material), dan materi seks eksplisit (sexually explicit material) seperti
penampilanclose upalat genetikal dan aktivitas seksual, termasuk
penetrasi.Sedangkan sesuatu dianggapObscenityatau kecabulan oleh publik Amerika
Serikat, bila sesuatu tersebut menyajikan materi seksualitas yang menentang
secara ofensif batasbatas kesusilaan masyarakat, yangmenjijikkan, dan tidak
memiliki nilai artistik, sastra, politik, dan saintifik. Untuk itu, batasan
kecabulan di tiap Negara bagian berbedabeda,tergantung standar komunitas
setempat, alias tidak bersifat nasional. Namun demikian, kita bisa
mengelompokkan pornografi anak, yakni menggunakan anak sebagai objek, hubungan
seks dengan hewan, yang merendahkan martabat manusia (melecehkan harga diri
seseorang), menggunakan kekerasan, dan atau sadisme.
2.
Pornografi Di Dalam Negeri
Menurut Azimah Soebagijo (2012)
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu media elektronik, media cetak dan media luar
ruang.
a.
Pornografi Media Elektronik
misalnya berupa hal-hal berikut :
rekaman lagu lagu berlirik mesum atau lagulagu yang mengandung bunyi-bunyian
atau suarasuara yang dapat diasosiasikan dengan kegiatan seksual.Cerita
pengalaman di radio dan telepon (sex phoneJasa layanan pembicaraan tentang seks
melalui telepon (party lineFoto digital porno atau fasilitas video porno melalui
telepon seluler yang semakin canggih dengan teknologibluethooth.Filmfilm yang
mengandung adegan seks atau menampilkan artis dengan berpakaian minim atau
tidak (seolaholah tidak) berpakaian.Penampilan penyanyi atau penari latar
dengan pakaian serba minim dan gerakan sensual dalam klip videomusik di TV dan
VCD.Situssitus serta berbagai bentuk layanan internet.
b.
Pornografi Media Cetak,
Misalnya sebagai berikut :Gambar
atau foto adegan seks atau artis yang tampil dengan gaya yang
sensual.Iklan-iklan di media cetak yang menampilkan artis dengan gaya yang
menonjolkan daya tarik seksual yang biasanya ditemukan pada iklan parfum,
mobil, handphone , party line dan sebagaina.Fiksi dan komik yang menggambarkan
adegan seks dengan cara sedemikian rupa sehingga membangkitkan hasrat
seksual.Bukubuku tentang teknikteknik bercinta.Berita kriminal kejahatan
seksual yang dibuat sangat detail sehingga membuat pembaca justru “menikmati”
daripada empati terhadap korban.
c.
Pornografi Media Luar Ruang.
Wujud dari materi pornografi yang
menggunakan media ini antara lain sebagai berikut :Billboardatau papan reklame
dari suatu produk yang menggunakan model yang berpenampilan sensual (biasanya
produk pakaian dalam wanita/ pria).Posterposter atau spanduk/ baliho promp film
layar lebar yang terpampang di bioskopbioskop.Lukisan atau gambar seronok yang
biasa terpampang di badan belakang truk-truk besar.
2.5. Pornografi Remaja,
1. Remaja
Kehidupan
sebagai remaja merupakan salah satu periode dalam rentang kehidupan
manusia. Banyak terjadi perubahan baik dari segi fisik maupun psikis. Menurut Elida
Prayitno (2006: 49) perubahan yang terjadi pada awal masa remaja meliputi perubahan
sistem pencernaan, perubahan sistem syaraf, perubahan sistem pernafasan, dan perubahan
organ seks. Dalam masa perubahan organ seksual, baik primer maupun sekunder itu,
sebagian remaja mengalami kesulitan seperti merasa sakit saat haid, perasaan sedih dan
kecewa karena tidak percaya diri dengan perubahan tubuh.
Kurangnya pendidikan seksual terhadap remaja akan menimbulkan penyimpangan
tingkah laku seksual pada remaja.
manusia. Banyak terjadi perubahan baik dari segi fisik maupun psikis. Menurut Elida
Prayitno (2006: 49) perubahan yang terjadi pada awal masa remaja meliputi perubahan
sistem pencernaan, perubahan sistem syaraf, perubahan sistem pernafasan, dan perubahan
organ seks. Dalam masa perubahan organ seksual, baik primer maupun sekunder itu,
sebagian remaja mengalami kesulitan seperti merasa sakit saat haid, perasaan sedih dan
kecewa karena tidak percaya diri dengan perubahan tubuh.
Kurangnya pendidikan seksual terhadap remaja akan menimbulkan penyimpangan
tingkah laku seksual pada remaja.
Menurut
Sarlito W. Sarwono (2008: 143), secara umum
pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang
jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran,
tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan, dan
kemasyarakatan. Menurut Sudarsono, ( 1990: 7) pemahaman dan pengetahuan remaja akan
masalah seksual pada dasarnya telah tumbuh dalam kehidupan dilingkungan keluarga.
Namun seringkali karena remaja masih malu membicarakan seks kepada orang tuanya,
remaja sering mencari informasi dari media ataupun dari orang lain. Lebih jauh lagi,
berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan tentang seks
dapat diperoleh melalui media masa (televisi, video, radio, dan film) yang semuanya tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Apabila orang tua jarang mengawasi
anak-anak dan remajanya, kurang memberi dukungan, dan menerapkan pola disiplin secara
tidak efektif, maka akan menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku pada anak dan remaja.
pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang
jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran,
tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan, dan
kemasyarakatan. Menurut Sudarsono, ( 1990: 7) pemahaman dan pengetahuan remaja akan
masalah seksual pada dasarnya telah tumbuh dalam kehidupan dilingkungan keluarga.
Namun seringkali karena remaja masih malu membicarakan seks kepada orang tuanya,
remaja sering mencari informasi dari media ataupun dari orang lain. Lebih jauh lagi,
berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan tentang seks
dapat diperoleh melalui media masa (televisi, video, radio, dan film) yang semuanya tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Apabila orang tua jarang mengawasi
anak-anak dan remajanya, kurang memberi dukungan, dan menerapkan pola disiplin secara
tidak efektif, maka akan menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku pada anak dan remaja.
2. Kenakalan Remaja
Perkembangan teknologi memiliki andil terhadap terjadinya perilaku
menyimpang remaja atau kenakalan remaja. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jensen
(Sarlito W . Sarwono2008) yang mendasari asal mula kenakalan remaja yang
digolongkan kedalam teori sosiogenik yaitu teori-teori yang mencoba mencari
sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan juga
masyarakat. Dalam kaitan ini masyarakat Indonesia telah mulai merasakan
keresahan tersebut terutama mereka yang berdomisili di kota-kotabesar, masalah
tersebut cendrung menjadi masalah nasional yang semakin sulit dihindari
ditanggulangi, dan diperbaiki kembali (Sudarsono, 1990: 5). Sedangkan menurut
RP Borrong (2007: 7) film porno dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
remaja/siswa dimana sikap dan perilaku tersebut dapat terjadi apabila terdapat
dorongan dalam diri remaja untuk menyaksikan tayangan dan mengimitasi hal-hal
yang terdapat dalam film porno. Sebenarnya film merupakan hiburan yang murah
dan praktis. Akan tetapi dengan semakin banyaknya film porno, seperti
kecendrungan remaja/siswa menonton film porno akan mengakibatkan siswa sulit
berkonsetrasi dalam belajar, sehingga hasil belajarnyarendah.
3. Seksualitas Remaja,
Kemajuan
teknologi dewasa ini memudahkan siswa untuk memperoleh informasi
dari media massa. Informasi seperti ini cenderung menjerumuskan remaja/siswa pada
permasalahan seksual dan tingkah laku seksual yang tidak bertanggung jawab. Hal ini bisa
menyebabkan pemahaman yang keliru tentang pendidikan seks, sehingga siswa bisa
terjebak dalam perilaku seksual yang menyimpang. Sebagaimana dipaparkan Elizabeth B
Hurlock (1997: 212), informasi tentang seks coba dipenuhi remaja dengan cara membahas
bersama teman-teman, membaca buku-buku tentang seks atau mengadakan percobaan
dengan jalan masturbasi, onani, bercumbu atau berhubungan seksual.
Upaya yang dilakukan oleh guru pembimbing di sekolah dalam memberikan
pemahaman kepada siswa akan pengaruh video porno terhadap perilaku seksual
menyimpang, yaitu memberikan berbagai layanan, seperti layanan informasi, layanan
bimbingan kelompok, dan konseling kelompok (Prayitno,2004: 2). Dalam
menyelenggarakan layanan-layanan tersebut, guru pembimbing memberikan materi terkait
dengan masalah seksual, video porno, dan juga materi tentang bagaimana menghindari
terjadinya perilaku seksual.
dari media massa. Informasi seperti ini cenderung menjerumuskan remaja/siswa pada
permasalahan seksual dan tingkah laku seksual yang tidak bertanggung jawab. Hal ini bisa
menyebabkan pemahaman yang keliru tentang pendidikan seks, sehingga siswa bisa
terjebak dalam perilaku seksual yang menyimpang. Sebagaimana dipaparkan Elizabeth B
Hurlock (1997: 212), informasi tentang seks coba dipenuhi remaja dengan cara membahas
bersama teman-teman, membaca buku-buku tentang seks atau mengadakan percobaan
dengan jalan masturbasi, onani, bercumbu atau berhubungan seksual.
Upaya yang dilakukan oleh guru pembimbing di sekolah dalam memberikan
pemahaman kepada siswa akan pengaruh video porno terhadap perilaku seksual
menyimpang, yaitu memberikan berbagai layanan, seperti layanan informasi, layanan
bimbingan kelompok, dan konseling kelompok (Prayitno,2004: 2). Dalam
menyelenggarakan layanan-layanan tersebut, guru pembimbing memberikan materi terkait
dengan masalah seksual, video porno, dan juga materi tentang bagaimana menghindari
terjadinya perilaku seksual.
2.6. Penyabab Pornografi.
Tindakan pornografi dikalang remaja
disebabkan oleh karena :
1. Perasaan Lawan Jenis
Menjadi pintu masuk pornografi dalam
diri remaja. Keingintahuan pada lawan jenis mendorongnya untuk melihat gambar
atau lukisan porno. Selain itu kualitas diri pribadi remaja itu sendiri,
seperti : perkembangan emosional yang kurang bahkan tidak sehat, adanya
hambatan dalam perkembangan hati nurani yang bersih dan agamis, ketidak mampuan
mempergunakan waktu luang secara sehat dan ekonomis, kelemahan diri dalam
mengatasi kegagalan dengan memilih kegiatan
alternatif yang keliru dan pengembangan kebiasaan diri yang tidak sehat di
dalam kehidupan sehari – hari.
2. Kualitas Keluarga
Seperti rumah
dan keluarga dengan situasi yang gersang dari kasih sayang dan pengertian,
ekonomi yang tidak mendukung kemauan dan kesempatan belajar, pergeseran nilai
dan moral kesusilaan warga masyarakat.
3. Program Media Massa
Remaja tidak lagi mengejar impian dan nilai – nilai
moral, tetapi sebaliknya menyerap nilai – nilai yang menyimpang dari masyarakat
yang sakit. Mengajarkan orang untuk berbuat licik, jahat, membunuh, dan seni
berbohong. Tayangan yang berbau kekerasan, seksual, banyak memengaruhi jalan
pemikiran permirsa. Akibatnya mereka menganggap hal – hal tersebut sebagai
sesuatu yang normal untuk dilakuhkan merusak perkembangan moral yang sehat, dan
kondisi setempat yang merangsang remaja tumbuh ke arah prilaku seksual yang
tidak sehat.
4. Teknologi Internet
Teknologi internet yang semakin
berkembang dan bertambah maju mengakibatkan remaja semakin mudah untuk
mengakses situs – situs, terutama situs yang menyimpang atau situs porno.
2.7. Pencegahan
Pornografi.
Terjadinya
penyimpangan seksual di kalangan remaja tentunya harus di tanggulangi sedini
mungkin. Terlebih remaja adalah bagian masyarakat yang akan bertanggung jawab
pada kemajuan suatu bangsa. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain
pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi, penanaman agama, pembiasaan
melakukan ibadah yang tepat hingga menumbuhkan
kesadaraan diri, memberi contoh teladan yang sehat, menciptakan lingkungan yang
sehat, bersih, dan peninjauan kembali media massa dan teknologi dan internet
yang berhubungan dengan penyimpangan seksual.
Upaya penanganan terhadap bahaya
pornografi ini dapat dilakukan melalui dua hal. Pertama, penanganan Internal, yaitu: meningkatkan ketahanan diri
dan keluarga terutama pada anak dan remaja. Kedua,
penanganan Eksternal, yaitu : Adanya regulasi yang tegas dan payung hukum yang
memadai. Sebenarnya telah ada undang-undang yang dapat mencegah adanya
pornografi melalui media massa (cetak dan elektronik), yaitu UU No. 44 tentang anti pornografi dan pornoaksi (APP) dan UU no. 11 tentang informasi dan transaksi
elektronik (ITE) serta KUHP pasal 282 dan 283 tentang pelanggaran kesusilaan.
BAB III
TAHAPAN SAUNG PANGIUHAN BARUDAK
(SPB)
3.1. Pengantar.
Saung Pengiuhan
Barudak (SPB) berasal dari tata bahasa Sunda yang
mempunyai arti Tempat berteduh anak , ini hanyalah arti kiasan saja. Karena
arti sebenarnya kegiatan ini merupakan
system perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat untuk kegiatan
perlindungan anak korban dampak
pornografi, kekerasan seksual, dan pergaulan bebas, pernikahan dini, kehamilan
tak dikehendaki dan kerentanan kesehatan
reproduksi serta keterbatasan keterampilan literasi dan kreativitas anak.
SPB ini dikatakan terpadu karena
melibatkan anak sebagai actor utama dan para pihak terkait perempuan (ibu),
orang tua, guru/sekolah, para ulama/tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pihak
pemerintah daerah (SKPD) dan lembaga sosial-kemasyarakatan lainnya. Komponen
kegiatan meliputi pencegahan, perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, dan
pendampingan sosial dengan berbasis masyarakat dalam arti mendayagunakan sumber dan potensi yang
dimiliki masyarakat serta berlandaskan kepada ajaran agama Islam, nilai-nilai,
adat istiadat dan kearifan local masyarakat Sunda di Jawa Barat dan semboyan
masyarakat Kabuputen Bandung yaitu Sabilulungan.
Kegiatannya
dimulai dengan Satu, Kegiatan Persiapan meliputi pembetukan team kerja,
pembuatan modul, sosialisasi public, perekrutan peserta dan pelatih, Kedua
Kegiatan Pelaksana meliputi kegiatan pelatihan di kelas, kegiatan tutorial masyarakat, kegiatan aksi sosial, kegiatan
focus group diskusi, kegiatan festival anak Ketiga Kegiatan terpadu
dengan program perlindungan anak sejenis di tingkat desa/kelurahan seperti
posyandu, pos stunting, forum anak, kelompok remaja, karang taruna, remaja
mesjid, Penanganan Kekerasan Anak Berbasis Masyarakat (PKABM) dan lainnya. Keempat
kegiatan Moneva dan Rujukan yaitu monitoring dan evaluasi serta rujukan bila
terjadi kasus atau korban anak yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
3.2. Kegiatan Pencegahan
Kegiatan Pencegahan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat melalui:
1. Peran Pemerintah
(1)
Pencegahan
melalui:
a.
koordinasi satuan kerja perangkat daerah yang membidangi anak dan perempuan dengan penegak
hukum, lembaga kemasyarakatan, institusi pendidikan, media dan masyarakat;
b. kegiatan sosialisasi
peraturan perundang-undangan di bidang pencegahan dan penanggulangan pornografi
dan pornoaksi kepada lembaga kemasyarakatan, institusi pendidikan, organisasi
masyarakat dan media;
c.
peningkatan kesadaran masyarakat dan tangggung jawab
melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan tentang perlunya bahaya pornografi dan
pornoaksi;
d. pembinaan melalui
sistem informasi; dan
e. advokasi bahaya
pornografi dan pornoaksi yang dilakukan secara terpadu dan terus menerus.
(2) Untuk melakukan pencegahan Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan
dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran
pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
c.melakukan kerja sama dan koordinasi
dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan
pornografi;
d.mengembangkan sistem komunikasi,
informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi;
e. menetapkan penggunaan sistem filterasi atau
cara-cara lain untuk menghambat akses terhadap Produk Pornografi sebagai syarat
perizinan usaha layanan akses internet daerah; dan
f. menetapkan perizinan bagi usaha yang menggunakan
layanan akses internet di daerah.
2. Peram Orang Tua
1) Orang tua berperan aktif dalam pencegahan bahaya pornografi dan
pornoaksi di lingkungan
keluarganya.
2) Peran orang
tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai
tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi di keluarganya;
b. melakukan gugatan perwakilan ke
pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan yang
mengatur pornografi; dan
d.melakukan edukasi kepada anggota
keluarganya terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara dini
kepada anggota keluarganya secara ramah dan penuh penghormatan
3. Peran Guru
1) Guru/Tenaga pendidik berperan aktif dalam
pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi di lingkungan sekolahnya.
2) Peran guru/tenaga
pendidik dapat dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai
tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi di sekolahnya;
b. melakukan gugatan perwakilan ke
pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan yang
mengatur pornografi;
d.
melakukan edukasi kepada siswa sekolahnya terhadap bahaya dan dampak
pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara
kepada siswa secara ramah dan penuh penghormatan
4. Peran Ulama
1) Tenaga rohaniawan/ulama berperan aktif dalam
pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi di lingkungan tempat ibadah dan umatnya.
2) Peran tenaga
rohaniawan/ulama dapat dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai
tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi di tempat ibadah dan umatnya;
b. melakukan gugatan perwakilan ke
pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan
perundang-undangan yang
mengatur pornografi; dan
d. melakukan edukasi kepada warga
masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara dini
kepada warga masyarakat secara ramah dan
penuh penghormatan
5. Peran Masyarakat
1) Masyarakat berperan aktif
dalam pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi.
2) Peran masyarakat dapat dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai
tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi diwilayahnya;
b. melakukan gugatan
perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan
yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan edukasi
kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan
seks secara dini kepada warga masyarakat
secara ramah dan penuh penghormatan
3.2
Perlindungan
Sosial
1. Pelaksanakan perlindungan sosial sebagaimana Pemerintah Daerah melakukan:
f.
koordinasi;
g.
sosialisasi;
h.
pendidikan
dan pelatihan;
i.
meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab masyarakat; dan
j.
Pelayanan
LKS sistem panti dan non panti.
k.
Pelayanan
P2TP2A
l.
Pelayanan
LK3
m.
Pelayanan
UPPA
n.
Pelayanan
Lembaga pendidikan/sekolah
o.
Pelayanan
Lembaga sosial masyarakat (LSM)
p.
Pelayanan
Lembaga Keagamaan.
q.
Pelayanan
Pos SLRT
2. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga
pelayanan sosial antara lain paling sedikit melakukan:
a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan fisik, disiplin, dan
kepribadian;
c. konseling;
d, pelayanan
program pendidikan mandiri;
f. pelatihan vokasional;
g. penggalian potensi dan sumber
daya; dan/atau
h. peningkatan
kemampuan dan kemauan.
3. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga
pendidikan/sekolah paling sedikit melakukan:
a. kegiatan penanaman nilai-nilai
budi pekerti;
b. pengawasan terhadap anak yang
menjadi korban atau pelaku pornografi di lembaga pendidikan/sekolah;
c. pengintegrasian bahan kajian
pencegahan pornografi pada mata pelajaran yang relevan;
d. kegiatan ekstrakurikuler yang
mengarahkan anak agar terbebas dari pengaruh pornografi; dan
e. sosialisasi
peraturan perundang-undangan mengenai pornografi.
4. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga
sosial masyarakat (LSM) dan Lembaga Keagamaan
paling sedikit melakukan kegiatan:
a. bimbingan sosial dan keagamaan
yang meliputi aspek keimanan, sosial kemasyarakatan, dan akhlak;
b. pemberian motivasi untuk
memahami dan mengamalkan nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan; dan
c. konseling
sosial dan keagamaan.
5. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh keluarga
dan/atau masyarakat:
a. mengupayakan pemecahan atas
permasalahan yang dihadapi anak yang menjadi korban atau pelakupornografi;
b. memberikan pemahaman mengenai
nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi;
c. membangun komunikasi yang baik
antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
d. mengawasi pergaulan anak yang
menjadi korban atau pelaku pornografi;
e. mengawasi penggunaan sarana
komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban
atau pelaku pornografi; dan/atau
f. melakukan kegiatan lain dalam
rangka pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
3.3. Pendampingan Sosial
1. Pelaksanakan pendampingan sosial dalam hal ini Pemerintah Daerah menyediakan:
r.
pekerja
sosial profesional
s.
tenaga
kesejahteraan sosial;
t.
tenaga
pendamping sosial
u.
tenaga
relawan sosial
v.
tenaga
kesehatan/medis ;
w.
tenaga
rohaniawan/ulama;
x.
tenaga
pendidik/guru; dan
y.
tenaga
bantuan hukum.
2. Pendampingan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga pelayanan sosial antara lain melakukan:
a. konseling;
b. terapi psikologis;
c. advokasi sosial;
d. peningkatan kemampuan dan kemauan;
e. penyediaan akses pelayanan kesehatan; dan/atau
f. bantuan hukum.
3. Pendampingan
sosial yang
dilaksanakan oleh lembaga pendidikan/sekolah, paling sedikit melakukan:
a. pencegahan dengan memberikan
kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya pornografi melalui pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang dapat mencegah
terjadinya tindakan pornografi;
b. bimbingan dan konseling yang
dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi di bidang bimbingan dan
konseling;
c. pendidikan khusus; dan/atau
d. kegiatan lain yang diperlukan.
4. Pendampingan sosial
yang dilakukan oleh Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) dan Lembaga Keagamaan dilakukan melalui peningkatan:
a. kesadaran dan pengetahuan
tentang dampak buruk pornografi;
b. motivasi dan keyakinan tentang
kehidupan masa depan yang lebih baik; dan
c. kepercayaan
diri
5. Pendampingan sosial
yang dilakukan oleh keluarga
dan/atau masyarakat, paling sedikit melakukan:
a.
memberikan dukungan psikologis;
b. memberikan motivasi agar anak
yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya;
dan/atau
c. membangun hubungan yang setara
dengan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi agar bersedia membuka
diri dalam mengemukakan permasalahannya.
3.4. Rehabilitasi Sosial
1. Rehabilitsi Fisik dan
Mental
1). Pelaksanakan pelayanan rehabilitasi fisik dan mental dalam hal ini
Pemerintah Daerah menyediakan:
a. pekerja sosial profesional
b. tenaga kesejahteraan sosial;
c. tenaga pendamping sosial
d. tenaga relawan sosial
f. tenaga kesehatan/medis ;
g. tenaga rohaniawan/ulama;
h. tenaga pendidik/guru; dan
i. tenaga bantuan hukum.
2) pelayanan rehabilitasi fisik dan mental yang dilakukan oleh lembaga pelayanan sosial dalam melaksanakan
rehabilitasi fisik dan mental, meliputi:
a. terapi psikososial;
b. konseling;
c, kegiatan
yang bermanfaat;
d. rujukan ke rumah sakit, rumah
aman, pusat pelayanan, atau tempat alternatif lain sesuai dengankebutuhan;
dan/atau
e. resosialisasi.
3) pelayanan rehabilitasi fisik
dan mental yang dilakukan lembaga pendidikan/sekolah:
a. memberikan bimbingan dan konseling di bawah
pengawasan guru pembimbing di satuan pendidikan; dan
b. mengantarkan ke fasilitas pelayanan kesehatan
dalam hal anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi mengalami penderitaan
fisik.
4) pelayanan rehabilitasi fisik dan mental yang dilaksanakan oleh
lembaga sosial masyarakat (LSM) dan Lembaga Keagamaan:
a. memotivasi anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral
dan agama;
b. mendorong dan melibatkan anak
yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperan serta secara aktif
dalam kegiatan keagamaan; dan
c. memantau
anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.
5) pelayanan rehabilitasi fisik dan mental yang dilaksanakan oleh
keluarga dan/atau masyarakat:
a. memberikan dukungan psikologis;
b. melakukan pengasuhan secara
berkelanjutan; dan
c. mendampingi anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.
6) Penanganan pelayanan rehabilitasi fisik dan mental dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten yang kompeten.
(2)
Penanganan
rehabilitasi fisik dan mental dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(3)
Layanan
yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat kuratif dan rehabilitatif.
(4)
rehabilitasi
fisik dan mental yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan diberikan
dalam bentuk pelayanan yang meliputi:
a.
pemeriksaan
fisik, mental, dan kesehatan inteligensia;
b.
pengobatan;
dan
c.
pencegahan
terhadap penyakit menular.
(5)
Bentuk
pelayanan pemeriksaan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a.
konseling;
dan
b.
terapi
perorangan/individu, keluarga, dan kelompok.
(6)
Bentuk
pelayanan pemeriksaan kesehatan inteligensia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf ameliputi:
a.
identifikasi
gangguan kesehatan inteligensia;
b.
pemeliharaan
kesehatan inteligensia; dan
c.
pemulihan
kesehatan inteligensia.
(7)
rehabilitasi
fisik, mental, dan kesehatan inteligensia, dilaksanakan berdasarkan standar
profesi, standar operasional prosedur, dan standar pelayanan.
3.5.
Rehabilitasi Sosial
1. Pelaksanakan pelayanan rehabilitasi sosial dalam hal ini Pemerintah Daerah dilakukan oleh tenaga rehabilitasi sosial antara lain:
a.
pekerja
sosial profesional
b.
tenaga
kesejahteraan sosial;
c.
tenaga
pendamping sosial
d.
tenaga
relawan sosial
e.
tenaga
kesehatan/medis;
f.
tenaga
rohaniawan/ulama;
g.
tenaga
pendidik/guru; dan
h.
tenaga
bantuan hukum.
2. Pelayanan rehabilitasi
sosial diberikan dalam bentuk:
a. motivasi diri
b. terapi psikososial;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spiritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial
g. bimbingan konseling;
h. pelayanan aksesibilitas;
i.
bantuan
dan asistensi sosial;
j.
bimbingan resosialisasi;
k.
bimbingan
lanjut; dan/atau
l.
bimbingan rujukan.
3. Pelayanan rehabilitasi
sosial dilaksanakan dengan tahapan:
a. Penjangkau dan pendekatan awal
b. pengungkapan dan pemahaman;
c. penyusunan rencana intervensi;
d. pelaksanaan intervensi;
e. monitoring dan evalusai
f. terminasi dan rujukan
g. resosialisasi dan bimbingan lanjut.
5. Pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan
oleh lembaga pendidikan/sekolah dengan memberikan
bimbingan konseling yang dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi.
6. Pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan
oleh lembaga sosial masyarakat (LSM) dan lembaga keagamaan, meliputi:
a. pemberian motivasi;
b. pengasuhan;
c. penyuluhan sosial dan keagamaan;
d. pembimbingan sosial dan keagamaan
yang berkelanjutan; dan
g. pembimbingan dan pelatihan
tentang keteraturan, kedisiplinan, keteladanan dan memahami serta mengamalkan
nilai sosial dan ajaran agama secara baik.
7. pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan
oleh keluarga dan/atau masyarakat:
a. berempati dan tidak menyalahkan
atas permasalahan yang dihadapi;
b. memberikan rasa nyaman dalam
meningkatkan kepercayaan diri; dan/atau
c. memberikan motivasi agar anak
yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya.
3. 6.
Pembentukan Satuan Tugas
1. Satuan Tugas SKPD
a. Untuk mendukung pencegahan penindakan
dan penanganan
pornografi, Pemerintah Daerah dapat membentuk Satuan Tugas.
b. Satuan Tugas`berkedudukan di bawah koordinasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana dan bertanggung jawab kepada Bupati
2. Fungsi dan Tugas
a. mengkoordinasikan
upaya pencegahan penindakan dan penanganan masalah pornografi;
b. memantau
pelaksanaan pencegahan penindakan dan penanganan pornografi;
c. melaksanakan
sosialisasi, edukasi dan kerjasama
pencegahan penindakan dan penanganan pornografi; dan
d. melaksanakan evaluasi
dan pelaporan.