Sabtu, 23 Februari 2019

SAUNG PANGIUHAN BARUDAK JAWA BARAT


SAUNG PANGIUHAN BARUDAK (SPB) JAWA BARAT
REPLIKASI SAUNG PANGIUHAN BARUDAK BANDUNG

(Gerakan Anti Pornografi dan Prilaku Seks Bebas)



OLEH
                        DR.BAMBANG RUSTANTO,M.HUM





SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG PEBRUARI 2018

BAB 1.
PENDAHULUAN
            1.1. Latar Belakang
Masalah pornografi  dewasa ini semakin marak terjadi, hampir di seluruh dunia  bahkan termasuk di  Indonesia.  Pornografi bisa dikatakan memiliki usia yang sama dengan peradaban manusia. Perkembangannya dari masa ke masa mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Adapun pornografi sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang yang dipertontonkan (khususnya pada  perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau pelihat terangsang layaknya manusia normal.   Istilah lain yang tidak jauh berbeda arti dengan pornografi adalah ‘pornoaksi’. Pengertian pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan atau erotika di muka umum.
              Kemajuan Teknologi terutama internet, merupakan salah satu kemajuan zaman , yang dapat diakses dengan mudah melalui computer (laptop) , telepon seluler (handphone), gawai (gadget) dan alat elektronik lain. Siapapun tak lagi memandang bangsa, jenis kelamin maupun usia.  Jutaan orang menggunakan internet setiap harinya, untuk berbagai keperluan: bisnis, mengikuti berita dunia terkini, mencari tahu prakiraan cuaca, mempelajari negara-negara asing, informasi perjalanan, berkomunikasi dengan keluarga dan teman di berbagai belahan dunia, dan keperluan lainnya.    Internet yang pada mulanya hanya dikembangkan untuk kepentingan militer, riset dan pendidikan terus berkembang memasuki seluruh aspek kehidupan umat manusia. Kebebasan berekspresi di dunia maya melalui internet juga turut berpengaruh dalam  penyebaran informasi tanpa batas.  Saat ini, internet telah membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru berupa masyarakat milinium dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang hampir tanpa batas.
               Penggunaan internet bukan lagi menjadi dominasi orang tertentu saja, seperti orang dewasa, berpendidikan tinggi dan tinggal di kota besar. Namun sudah menyeluruh ke pelosok  tanpa kecuali. Bahkan hingga ke desa-desa, internet sudah dikenal dengan baik. Demikian juga dengan penggunaannya. Sayangnya, fenomena mengakses pornografi melalui internet juga merambah kemana-mana, sehingga menjadi masalah yang sangat besar dan serius. Betapa tidak, bila dahulu untuk dapat mengakses segala sesuatu yang berkaitan dengan pornografi sangat terbatas di kalangan tertentu saja, terutama berkaitan dengan usia dan media. Maka saat ini hal tersebut sudah tidak menjadi halangan lagi, siapapun bebas dan boleh mengakses, hampir tanpa kontrol sama sekali, termasuk oleh anak dan remaja sekalipun. Sepanjang seseorang dapat mengakses internet, maka orang tersebut dengan sangat mudah akan dapat membuka situs-situs yang berkaitan dengan pornografi.
               Pornografi online, mengapa orang mencari pornografi lewat internet? Jawabannya adalah karena pengguna komputer dapat menonton bahan-bahan cabul dan pornografi  tanpa harus sembunyi-sembunyi mendatangi toko buku murahan atau bahkan menyelinap ke ruang belakang toko video. Semua orang dapat dengan leluasa menikmati bahan-bahan cabul dan pronografi  di rumah, di kantor atau dimana saja. Suatu fakta dan kenyataan yang sangat menyedihkan dan mengejutkan, adalah bahwa banyak pengguna atau penonton pornografi tersebut adalah anak dan remaja, yang sebenarnya secara hukum dilarang membeli melihat  porno atau menyewa video porno. Namun justeru mereka ini dapat menontonnya di rumah dan di sekolahya dengan menyentuh mouse di komputernya atau perangkat elektronik lainnya. 
             Anak  dan Remaja  terbanyak mengunjungi situs-situs porno di internet secara teratur tanpa sepengetahuan orang-tuanya. Bahkan, diberitakan oleh The Detroit News menyatakan bahwa ”Lebih dari dua perlima anak-anak berlangganan ke suatu situs web porno atau jasa internet lainnya, sekalipun hampir 85 persen orang-tua telah menetapkan larangan untuk itu”. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kaspersky Lab, terkait pornografi menguak fakta mencengangkan. Lebih dari 10 persen anak usia 10 tahun telah menyaksikan pornografi melalui internet. Penelitian tersebut mengungkap pula bahwa 11 persen anak usia 10 tahun menyaksikan pornografi dari berbagai perangkat elektronik yang ada di rumah mereka, seperti telepon seluler (handphone), tablet, bahkan komputer. Seperti dikutip dari Daily Mail (10/2/2017), penelitian tersebut dilakukan terhadap 1.000 anak usia antara 10 hingga 15 tahun untuk mengetahui kebiasaan mereka ketika berselancar di dunia maya.. Selain itu, survei ini juga menemukan  satu dari tiga anak usia 10 tahun memiliki ponsel pintar yang telah terkoneksi dengan internet, daan 51 persen anak sudah memiliki komputer tablet sendiri.Angka yang jauh lebih fantastis terjadi pada anak usia 13 tahun, di mana 86 persen dari mereka telah menggunakan ponsel dan 60 persen lainnya punya komputer  tablet.Sekitar 60 persen anak dari seluruh kelompok usia tersebut mengaku mereka mampu menyembunyikan apa yang telah mereka lihat di internet dari orang tua mereka.
            Kemen-PPA, Menteri  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu Yohana Yembise  (liputan6.com) terkejut melihat data pornografi yang diakses anak dan remaja. Di setiap kota besar di Indonesia terdapat 25 ribu anak dan remaja setiap harinya  membuka situs-sinus  porno. Hal itu didapatnya saat mendapat kunjungan seorang rekan dari Thailand. Mereka tengah mengembangkan sistem yang bisa meng-capture orang yang tengah membuka situs-situs  porno melalui ponsel. "Saat saya minta buka di Jakarta, terlihat ada 25 ribu anak dan remaja yang sedang membuka situs-situs porno. Jakarta itu penuh dot merah," ujar Yohana di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, (4/5/2016). Tak sampai disitu. Sistem itu juga bisa melihat siapa saja yang sedang mengakses materi pornografi yang berbasis video. Angkanya pun tidak kalah besar. Anak dan Remaja , ketika ditanya apakah mereka pernah mengunggah sesuatu yang negatif dan kemudian menyesalinya, sebanyak 26 persen mengakui hal itu dan mengklaim menyesal. Mereka yang telah mengunggah hal-hal negatif di pornografi online mengatakan "tidak membayangkan" bagaimana unggahan itu akan mempengaruhi orang lain dan bagaimana itu bisa menganggu mereka.Enam persen anak dan remaja mengatakan mereka terkejut ketika hal yang mereka unggah menjadi viral di kalangan teman-teman mereka.
           Kondisi di Indonesia , Menurut Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, (Media Indonesia 7/5/ 2016) bahwa Indonesia merupakan satu di antara lima besar negara yang pengguna internetnya mengunduh konten-konten vulgar dan porno. Provinsi Jawa Barat termasuk sepuluh besar provinsi di Indonesia serta Kota Bandung termasuk lima besar kota  di Indonesia dari jumlah penikmat produk pornogradi yang asusila itu dan  setiap tahun semakin meningkat. Apabila pada tahun 2013 Indonesia berada di peringkat enam pengakses situs porno, tahun 2014 meningkat menjadi peringkat ketiga, dan pada tahun 2015 menjadi  peringkat kedua, setelah Amerika Serikat. Sementara itu data Komisi Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan, bahwa dari 4.500 anak dan remaja di 12 kota di Indonesia, 97 persennya pernah melihat situs porno, begitu juga di kalangan siswa sekolah dasar dan menengah. Dari 2.818 siswa, 60 persennya pernah melihat tayangan yang tidak senonoh itu. (Republika, 11/10/2016) Menurut komisi tersebut, pornografi merupakan perilaku menyimpang yang terjadi pada anak dan remaja yang kurang mendapatkan pengawasan dan perhatian orang tua maupun guru. Disebutkan, bahwa perilaku menyimpang terjadi pada anak dan remaja karena aktivitas yang tidak terkontrol, dikarenakan orang tua yang terlalu sibuk, tidak ada komunikasi dan tuntutan terlalu tinggi, kekerasan pada anak dan remaja, tidak tahu potensi anak dan remaja, ambisi orang tua, dan guru serta diskriminasi.Saat ini para orang tua sedang berlomba dengan predator seksual anak dan remaja yang berkeliaran di luar.
        Dampak Pornografi : dapat mengakibatkan  dampak buruk, baik bagi orang yang menonton (menikmatinya) maupun kemudian menimbulkan akibat yang lebih luas, yaitu keluarga, masyarakat dan bangsa. Pornografi dapat merusak otak. Terutama bagian otak yang disebut Pre Frontal Cortex (PFC). Otak bagian ini berfungsi sebagai “Direktur” dari otak yang merupakan fungsi tertinggi dari otak manusia. Beberapa Dokter Jiwa  berpendapat bahwa pornografi dapat menyulut kecanduan yang jauh lebih sulit ditanggulangi daripada kecanduan narkoba. Perawatan bagi pecandu narkoba biasanya diawali dengan detoksifikasi untuk menyingkirkan zat itu dari tubuh. Tetapi, kecanduan pornografi, jelas Dr. Mary Anne Layden ”menghasilkan gambar mental yang tertanam secara permanen dalam pikiran si pengguna dan menjadi bagian dari proses kimiawi otak”. Itulah sebabnya mengapa individu-individu dapat mengingat kembali secara jelas dan hidup gambar-gambar pornografi yang dilihat bertahun-tahun yang silam. Ia menyimpulkan, ”Ini adalah zat adiktif pertama yang tidak dapat didetoksifikasi.” Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa masalah pornografi saat ini memasuki tahap yang lebih parah, banyak kasus pecandu video porno telah memasuki tahapan aksi (acting out), dimana mereka mempraktikkan apa yang dilihat dalam tindakan nyata. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan merusak tatanan sosial serta berbahaya bagi anak dan remaja. Dewasa ini, semakin sering disaksikan di berita, ada saja yang melakukan pelecehan seksual di ruang publik, seperti bus atau angkutan kota. (Antara, 8/3/2017). Untuk memerangi pornografi, KPAI mendesak pemerintah untuk terus-menerus melakukan upaya pencegahan dan penindakan, khususnya untuk melindungi anak dan remaja. Caranya dengan tidak membiarkan konten video porno beredar masif di masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis dalam UU RI no.44 tahun 2008, segala bentuk tindakan yang menyangkut pornografi adalah sebuah pelangaran hukum. Pemerintah telah berupaya keras untuk menangani masalah pornografi, salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Namun, apakah implementasi dari peraturan tersebut sampai saat ini sudah cukup efektif memberantas, menghilangkan atau mungkin menurunkan masalah pornografi? Untuk lebih mengefektifkan penanganan masalah pornografi ini, sangat diperlukan adanya Perda Jawa Barat  yang berkaitan erat dengan upaya pencegahan dan penindakan masalah pornografi, yang lebih langsung dan membumi di daerah, termasuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Provinsi ini merupakan wilayah penyangga ibukota negara, sehingga sangat strategis dalam segala aspek kehidupan.
                    Peran Masyarakat, upaya pencegahan dengan menumbuhkan kesadaran terhadap bahaya pornografi  ini dapat dicapai juga  melalui peran para pakar dan praktisi pendidikan agar dapat menghimbau dan memelopori tumbuh-kembangnya pendidikan budi pekerti, penanaman nilai-nilai keagamaan dan pendidikan karakter bagi anak dan remaja.  Selama ini Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah bekerja sama dengan Kemenkominfo  melakukan aksi pemblokiran situs porno di internet, begitu pula terhadap produk media cetak dan elektronik  tentang  pornografi seperti majalah namun tetap saja   kini kian marak.Seyogyanya ada keberanian pihak aparat hukum dan pengawasan untuk melakukan penindakan. Yang kita perlukan adalah keseragaman paham untuk memerangi bahaya dan dampak pornografi. Jika setiap pihak telah sepakat bahwa pornografi itu  perlu ditanggulangi, maka setiap individu dapat memberikan saran dan kontribusi masing-masing sesuai dengan peranannya di masyarakat. Kebijakan ini sesungguhnya merupakan ajakan untuk bersinergi bagi para pendidik, para pemuka agama, bagi para pakar teknologi informatika, bagi orang tua, bagi para aparat pemerintahan, bagi para pekerja seni, dan setiap elemen masyarakat untuk menyeragamkan tujuan dan memahami bahwa memang pornografi  bukanlah modal yang relevan untuk membangun wilayah. Sehingga pada akhirnya, setiap dari kita dapat menjadi bagian dari solusi dari permasalahan pornografi khususnya untuk anak dan remaja.
          Peran Ulama, dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuding Kemenkominfo tidak serius bekerja. "Tidak disediakannya dana secara cukup dalam perencanaan anggaran tahunan oleh menteri bersangkutan menunjukkan menteri dan jajarannya tidak serius menangani bahaya pornografi," kata Wakil Sekjen MUI Pusat Tengku Zulkarnaen. Karenanya dalam upaya mengatasi tindakan pornografi diperlukan aturan yang kuat dan sosialisasi serta penerapan yang jelas, sehingga harkat dan martabat kemanusiaan dan perlindungan terhadap warga negara atas akses pornografi dapat dibakukan dengan aturan-aturan yang memuat prinsip, menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama.
 Peran Pemerintah pentingnya peran sosial khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung  sebagai aparat pemerintah daerah , penegak hukum, pendukung kesadaran masyarakat , sebagai lembaga kontrol sosial, serta peranan dari masing-masing individu dalam menyadari besarnya bahaya pornografi dalam kehidupan sehari-hari. Menyadari bahaya besar pornografi , berarti memahami besarnya resiko dan akibat yang dihasilkan dari pornografi itu sendiri. Upaya penanganan terhadap bahaya pornografi ini dapat dilakukan melalui dua hal. Pertama, penanganan Internal, yaitu: meningkatkan ketahanan diri dan keluarga terutama pada anak dan remaja. Kedua, penanganan Eksternal, yaitu : Adanya regulasi yang tegas dan payung hukum yang memadai.  Sebenarnya telah ada undang-undang yang dapat mencegah adanya  pornografi  melalui media massa (cetak dan elektronik), yaitu UU No. 44 tentang  anti pornografi dan pornoaksi (APP) dan   UU no. 11 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) serta KUHP pasal 282 dan 283 tentang pelanggaran kesusilaan.  Namun bahaya pornografi tetap mengancam anak dan remaja di Jawa Barat. Untuk itu diperlukan adanya payung hukum untuk mencegah dan menangani korban pornografi  ini  Pemerintah Daerah Kabupaten juga dapat mengefektifkan pelayanan masyarakat  melalui Program Perlindungan Anak Melalui Saung Pangiuhan Barudah (SPB) .   
     1.2.  Permasalahan
Penanganan masalah yang terjadi berkaitan dengan pornografi harus dilakukan secara komprehensif dan multisektoral. Upaya pencegahan (preventif), penegakan (represif) dan rehabilitatif, dan pendampingan sosial harus dilakukan dengan simultan dan proporsional, serta harus memperhatikan pijakan sosiokultural setempat, khususnya budaya Sunda.Untuk itu, Program SPB yang beerkaitan Dengan Pornografi dimaksudkan untuk mencegah merebaknya masalah pornografi, baik secara primer, sekunder maupun tersier. Selain itu juga untuk menindak aksi-aksi pornografi yang merusak dan tidak bertanggung jawab, untuk memotong mata rantai pornografi, dan mengembalikan para korban pornografi yaitu anak dan remaja kepada masa depannya yang lebih baik.

1.3. Manfaat Program.
Dengan ditetapkannya Program SPB ini berkaitan dengan pornografi, maka akan membawa manfaat bagi berbagai pihak, yaitu:

          a. Bagi Anak dan Remaja
     Dengan adanya Program SPB ini berkaitan dengan pornografi yang lebih membumi dan bernuansa sosiokultural Sunda yang sesuai dengan tatanan masyarakat Sunda, akan mencegah anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa dari kehancuran masa depannya akibat pornografi. Dengan demikian, anak dan remaja Kabupaten Bandung dapat menjadi generasi yang handal.

        b. Bagi Keluarga dan Masyarakat
     Keluarga akan kembali harmonis bebas dari kekhawatiran terhadap rusaknya moral anak akibat pornografi. Dengan keluarga yang harmonis, maka pada gilirannya akan tercipta suatu masyarakat yang harmonis juga.
c.. Bagi Bangsa dan Negara
     Dengan generasi muda yang handal, terbebas dari kerusakan moral akibat pornografi, akan menjadikan masa depan Bangsa Indonesia aman dan sejahtera.    

1.4.. Landasan Hukum
1.             Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.            Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4 Juli 1950) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
3.            Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
4.            Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...);
5.            Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …);
6.            Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
7.            Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
8.            Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
9.            Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
10.         Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak. 
11.          Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara ………. )
12.         Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009  Tentang Kesejahteraan Sosial.
13.         Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
14.         Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
15.         Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928);
16.         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
17.         Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
18.         Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pembinaan, Pendampingan, dan Pemulihaan Terhadap Anak Yang Menjadi Korban Atau Pelaku Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 86 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5273);
19.         Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
20.        Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 17 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5501);
21.         Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi;
22.        Peraturan Daerah Provinsi Jawa barat Nomro 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 9 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10);
23.        Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No,1 tahun 2018 tentang Pencegahan dan Penanganan Pornografi ( Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 Nomor 2 , Tambahan lembaran daerah Provinsi Jawa Barat No,12)
24.        Peraturan Daerah  Kabupaten Bandung No.10 tahun 2008 tentang  Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Bandung
25.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.5 tahun 2009 tentang Sistem Pendidikan Di Kabupaten Bandung
26.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung  No, 8 tahun 2009 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Bayi dan Aanak Balita (KIBLLA) Di Kabupaten Bandung
27.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No,16 tahun 2010 tentang Perencanaan Pembangunan Desa di Kabupaten Bandung
28.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No,15 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
29.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No 08 tahun 2014 tentang  Pencegahan dan Penanggulangan Korban Perdagangan orang
30.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No, 5 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat
31.         Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No, 07 tahun 2016 tentang  Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2016-2021
32.        Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No. 3 tahun 2016  tentang  Sistem Kesehatan Daerah

1.5. Pengertian dan Ketentuan Umum
Pengertian dan Ketentuan Umum dalam Program Saung Pangriungan Barudak Kabupaten Bandung  yang dimaksud dengan:
1.         Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2.        Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.        Pembuatan Produk Pornografi adalah perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan Produk Pornografi.
  1. Penyebarluasan Produk Pornografi adalah perbuatan menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan Produk Pornografi.
  2. Penggunaan Produk Pornografi adalah perbuatan menggunakan, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan Produk Pornografi.
  3. Pencegahan Pornografi adalah segala upaya untuk melakukan pencegahan pembuatan dan penyebaran, serta pemanfaatan pornografi baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintahan .
  4. Penindakan Pornografi adalah segala upaya untuk melakukan penindakan terhadap pelaku pembuatan dan penyebaran, serta pemanfaatan pornografi baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintahan
  5. Penanganan Pornografi adalah segala upaya untuk melakukan penanganan terhadap korban pembuatan dan penyebaran pornografi baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lembaga pemerintahan
  6. Perlindungan Sosial adalah serangkaian kegiatan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan jati diri setiap orang yang menjadi korban atau anak yang pelaku pornografi ke arah yang lebih baik sehingga dapat berkembang secara sehat dan wajar baik fisik, kecerdasan otak, mental dan spiritual.
  7. Pendampingan Sosial adalah suatu upaya atau proses yang dimaksudkan untuk memberdayakan diri setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga dapat mengatasi permasalahan dirinya sendiri.
  8. Rehabilitasi Sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental dan sosial sehingga setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi dapat berkembang secara wajar.
  9. Rehabilitasi Fisik dan Mental adalah upaya untuk mengembalikan kondisi kesehatan jasmani dan jiwa termasuk inteligensia dan spiritual setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga mampu hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
  10. Rehabilitasi Sosial adalah segala upaya untuk mengembalikan kondisi sosial setiap orang yang menjadi korban atau anak yang menjadi pelaku pornografi sehingga mampu untuk kembali ke keluarga dan masyarakat dan mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.

14.      Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
15.      Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
16.      Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
17.      Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama-sama di sekitar lingkungan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi yang berperan dalam pembinaan, pendampingan, dan pemulihan.
18.      Tenaga Kesehatan/Medis adalah tenaga kesehatan/medis yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi kesehatan yang diakui oleh pemerintah.
19.      Tenaga Pendidik/Guru adalah tenaga pendidikan/guru yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi pendidikan yang diakui oleh pemerintah.
20.     Tenaga Rohaniawan/Ulama adalah tenaga rohaniawan/ulama yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi keagamaan yang diakui oleh pemerintah.
21.      Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) adalah tenaga kesejahteraan sosial (TKS) yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi kesejahteraan sosial yang diakui oleh pemerintah.
22.     Tenaga Relawan Sosial adalah tenaga relawan sosial yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi kerelawanan sosial yang diakui oleh pemerintah.
23.     Tenaga Bantuan Hukum adalah tenaga bantuan hukum yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi  hukum yang diakui oleh pemerintah.
24.     Tenaga pendamping sosial adalah tenaga pendamping sosial yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi pendamping sosial yang diakui oleh pemerintah.
25.     Pekerja Sosial Profesional (Peksos) adalah: pekerjaan sosial profesional yang memiliki lisensi sertifikasi dari lembaga sertifikasi pekerjaan sosial yang diakui oleh pemerintah.
26.     Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) adalah lembaga kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai kesejahteraan sosial yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
27.     Lembaga Pendidikan/Sekolah adalah satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem pendidikan nasional, yang berada di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
28.     Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) adalah organisasi non pemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan swadaya oleh Warga Negara Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik yang berada di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
29.     Pusat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) adalah unit pelayanan teknis di bawah dinas pemberdayaan perempuan dan anak yang memberikan perlindungan dan terapi psikososial kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah lainnya yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
30.     Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) unit pelayanan teknis di bawah Dinas Sosial yang memberikan konsultasi dan terapi psikososial kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah lainnya yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
31.      Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) adalah unit pelayanan teknis di bawah kepolisian Republik Indonesia yang memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah lainnya yang berada di tingkat Kabupaten/Kota.
32.     Sistem Layanan Rujukan Terpadu adalah unit pelayanan teknis dibawah pemerintah desa yang memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kekerasan, trafiking, korban pornografi dan masalah lainnya yang berada di tingkat Desa/Kelurahan dan Kecamatan.





BAB II

KAJIAN LITERATUR

2.1.  Seks dan Kekuasan
   1.  Non Refresif.
                  Foucault, kekuasaan harus dipahami sebagai beragam dan banyaknya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada  bidang hubungan-hubungan tersebut dalam organisasinya. Dan permainan kekuasaan akan mampu mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus menerus. (Foucault, 1976: 121-122) Jean-Louis Chevreau dalam bab pengantar buku History of Sexuality menuliskan bahwa kekuasaan bukan sekedar apa yang dilarang, atau sesutu yang berkata tidak, atau bahkan sesuatu yang mengucilkan. Hubungan antara seks dan kekuasaan pada dasarnya tidak menindas. Pada kenyataannya, justru keduanya menghasilkan suatu wacana tentang seksualitas yang terus menerus bertambah banyak dan meluas, sesuai dengan semangat postmodernisme yang memberikan ruang pada seks dan kekuasaan untuk terus berkembang.

 2.  Tersebar Dimana-Mana.
               Michel Foucault (Foucault 1976: 76) dalam bukunya History of Sexuality, menjelaskan bahwa dalam seksualitas dibangun sebagai perlengkapan atau mesin yang diperuntukan untuk memproduksi kebenaran, artinya wacana kekuasaan memiliki fungsi untuk menampung atau menyembunyikan kebenaran. Seks kemudian tidak hanya mengenai sensasi dan kenikmatan, tetapi di dalam seks juga dipertaruhkan masalah benar dan salah. Dan mengetahui apakah seks itu benar  atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan yang kemudian akan berubah menjadi narasi-narasi besar. Foucault, masih dalam bukunya History of Sexuality  jilid I, menegaskan bahwa kekuasaan bertentangan dengan tafsiran kekuasaan sebagai asas pemersatu atau sebagai asas yang terpancar dari satu sumber. Bagi Foucault, kekuasaan  berfungsi sebagai suatu model strategis yang canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Foucault mengartikan kuasa sebagai “nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu.”  Kuasa tidaklah terpusat di satu titik, namun tersebar, berpencar dan hadir dimana-mana. Ia beroperasi melalui hegemoni norma, teknologi, politik, dan pembentukan tubuh-jiwa manusia.

3.  Dikontruksi.
         Seno Joko Suyono (2002 : 494) dalam bukunya yang berjudul Tubuh yang Rasis mengatakan dalam pemikiran Foucault terdapat paradigma prasangka prasangka bahwa seks adalah instinctual disturbance, penyebab laten segala penyimpangan yang mungkin terjadi pada diri individu pasangan suami istri, anak, dan keluarga. Uraian Foucault tersebut merupakan ujung dari pendapatnya di dalam buku The History of Sexuality jilid I, bahwa seksualitas di zaman modern bukan sesuatu yang natural given lagi, melainkan suatu bentuk kontruksi. Kemudian masih dalam buku yang sama, Seno Joko Suyono menyimpulkan bahwa tubuh merupakan tempat paling esensial untuk mengamati penyebaran dan beroperasinya kekuasaan dalam masyarakat  modern. Tubuh adalah tempat dimana praktek-praktek sosial yang paling lokal dan mikro mempertatutkan dirinya dengan sirkulasi kekuasaan impersonal dalam skala besar. Bahkan lebih jauh, tercapai suatu kejelasan bagaimana suatu tubuh sampai digolong-golongkan, dikontitusi, ditematisasikan, dan dimanipulasi oleh kekuasan. Haryatmoko (2012: 2) dalam tulisannya yang berjudul Kekuasaan- Pengetahuan sebagai Rezim Wacana menjelaskan bahwa tubuh adalah sasaran kekuasaan, dengan tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan, kepatuhan demi produktivitas. Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang berdisiplin agar menjadi tenaga yang produktif. Maka tekanan terhadap normalisasi dan pendisiplinan tubuh menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran. Oleh karena itu, kekuasaan kemudian membutuhkan format wacana yang mengatur hubungan kekuasaan dan seks seperti larangan, sensor, atau penafikan.

4.  Ketubuhan
Masih dalam tulisan yang sama, Haryatmoko menerangkan bahwa sejarah seksualitas ingin membangun sejarah mengenai lembaga-lembaga yang terlibat dalam memproduksi kebenaran dan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam lembaga tersebut. Maka kemudian orang berbicara tentang seks dari tempat dan sudut pandang tertentu akan menunjukan sebarapa besar kepentingan yang terlibat. Hal ini kemudian membuat ‘rasa ingin tahu’ dapat dilokalisir untuk menentukan benar atau salah suatu perilaku seksual. Oleh karena itu, kemudian banyak institusi yang memiliki kepentingan untuk mengatur seks. Wacana kebenaran tentang seks mengungkap cara bagaimana ‘ingin tahu’ tidak terlepas dari seks, sehingga ada banyak lembaga yang kemudian bekerja mengatur kehidupan. Disiplin tubuh dan regulasi penduduk adalah cara lembaga kekuasaan atas kehidupan berjalan. Tubuh menjadi mesin yang diarahkan ke peningkatan kemampuan, perkembangan kegunaan, kepatuhan, integritas ke dalam sistem pengawasan yang efektif fan ekonomis. Semua hal ini dijamin oleh prosedur kekuasaan yang ditandai dengan disipilin. Pada akhirnya tubuh diarahkan pada proses biologis, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan, harapan hidup, singkatnya mulai mengarah pada biopolitik penduduk. Hidup menjadi bagian arena kontrol pengetahuan dan campur tangan kekuasaan, tanggung jawab atas kehidupan memberi akses kekuasaan masuk sampai pada tubuh. Tubuh adalah politik karena seks. (Foucault 1976: 188) Masih dalam bukunya History of Sexuality, Foucault menjelaskan bahwa perlahan-lahan telah muncul spesifikasi baru individu-individu yang disebabkan oleh perburuan terhadap seksualitas yang menyimpang dari aturan kekuasaan. Sodomi, sebagaimana yang dikenal pada saat itu dalam hukum perdata ataupun hukum agama, adalah salah satu jenis dari tindakan terlarang. Pada abad ke-19, homoseksual sudah menjadi tokoh yang memiliki suatu masa lalu suatu kisah pengalaman dan suatu masa kanak-kanak, suatu sifat, suatu gaya hidup, suatu morfologi, berikut anatomi yang berani, dan mungkin fisiologi yang penuh misteri. Namun seksualitas tidak pernah terpisahkan dari sosok homoseksual dan lebih merupakan kodrat khasnya daripada kebiasaan yang mengandung dosa. Michel Foucalt, Seks dan Kekuasaan, Terj. Forum Jakarta  Paris (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 2008)

2.2. Pornografi Dalam Budaya
             Pornografi  dan seksualitas ibarat dua sisi dari satu koin. Di Indonesia  seksualitas di satu sisi, norma dan nilai yang dilekatkan pada individu (aspek rekreasi) yang bersifat spesifik secara sejarah dan budaya. Sedangkan di sisi lain, sifat alamiah manusia (fungsi biologis-prokreasi). Sikap masyarakat Indonesia terbuka terhadap seksualitas yang mempunyai akar sosio-kultural yang berubah dari waktu ke waktu.    
              Tarawangsa merupakan salah satu  seni Budaya Sunda juga terbuka dalam menunjukan aktiviatas seksualitas dalam tarian-tariannya.    Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes ( sekarang Provinsi Banten).     Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri (perempuan).
             Tarawangsa di Rancakalong menurut cerita rakyat secara turun-temurun asal-usulnya antara lain dimulai pada zaman kekuasaaan Mataram (1550). Kehidupan masyarakat di Rancakalong mengalami bencana kelaparan, dikerenakan tanaman padi yang ditanam selalu mengalami gagal panen akibat kemarau panjang dan terus menerus diserang hama. Banyak sekali warga Rancakalong meninggal dunia pada waktu itu, karena bencana kelaparan. Dengan adanya bencana tersebut masyarakat Rancakalong mencoba untuk menanam tanaman alternatif pengganti padi yaitu tanaman Hanjeli. Namun sayang, setelah tanaman pengganti padi berhasil banyak di produksi, pada suatu ketika menimbulkan malapetaka. Seorang anak terperosok ke dalam tumpukan biji Hanjelii di sebuah tempat penggilingan hingga tewas.     Sejak terjadinya peristiwa nahas tersebut, masyarakat berniat kembali menanam padi sebagai makanan pokok. Namun untuk itu masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan bibit  Padi yang berkualitas baik.   Masyarakat kemudian bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Akhirnya mereka mengirim utusan untuk pergi ke Mataram untuk mendapatkan benih padi. Singkat cerita, para utusan tersebut berhasil mendapatkan benih padi dengan kualitas baik dari Mataram.  
                Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur.     Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para Putri (penari perempuan) Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan roh para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari perempuan sering mengalami trance (tidak sadarkan diri) melenggak-lenggok dengan lemah gemulai yang mengundang gairah penari laki-laki . (Wikipidia dan Dinas Pariwisata Kabupaten Sumedang, 2015)
2.3. Pengertian Pornografi
    1.  Pengertian:
     Pornografi sendiri berasal dari bahasa Yunani  “pornographos” yang berarti menulis atau menggambar tentang pelacur perempuan. Adapun pornografi sering dikonotasikan dengan pertunjukan seks, cabul, bagian tubuh terlarang yang dipertontonkan (khususnya pada  perempuan), dan segala bentuk aksi yang membuat pendengar atau pelihat terangsang layaknya manusia normal.   Istilah lain yang tidak jauh berbeda arti dengan pornografi adalah ‘pornoaksi’. Pengertian pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan atau erotika di muka umum.
Ciri yang pertama adalah ‘pornografi’ itu adalah perbuatan seks yang dilakukan demi seks itu sendiri.  Ciri yang kedua adalah adanya rangsangan nafsu birahi dari penonton. Hal ini dilakukan secara ofensif dan agresif. Ciri yang ketiga adalah adanya peningkatan daya rangsangan secara otomatis secara tidak terbatas.  Ciri yang keempat adalah usaha untuk membawa penonton memasuki dunia khayal.(Soeryono, 1990)

 2.  Pendapat Ahli.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  disebutkan, Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Sedangkan W.F. Haung (Soeryono,1990) menyebutkan pornografi adalah penggunaan refresentasi perempuan (tulisan, gambar, foto, video dan film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai “objek” seksual laki-laki. Ernst. (Soeryono,1990)     Didefinisikan oleh Ernst  sebagai berikut: Pornografi adalah berbagai bentuk atau sesuatu yang secara visual menghadirkan manusia atau hewan yang melakukan tindakan sexual, baik secara normal ataupun abnormal.  Peter Webb  (Soeryono,1990)      Definisi pornografi dengan menambahkan bahwa pornografi itu terkait dengan obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar eroticism. Menurut Webb, masturbasi dianggap semacam perayaan yang berfungsi menyenangkan tubuh seseorang yang melakukannya.
   UU RI Nomor 44 Tahun 2008,    Tentang Pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. MUI  Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan satu definisi yang hampir sama. Yaitu pornografi adalah Menggambarkan, secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan, baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi.

2.4.  Ragam Pornografi.
        1. Pornografi Diluar Negeri.
Untuk Amerika Serikat saja, Presiden Amerika, Lyndon Johnson pada tahun 1967 merasa perlu untuk membuat komisi nasional untuk mengetahui ragam pornografi yang berkembang di masyarakat. Komisi yang kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Meese dipimpin oleh Jaksa Agung Amerika waktu itu, yaitu : Edwin Meese. Komisi ini bertugas untuk mengidentifikasi apa saja muatan pornografi yang terdapat di masyarakat. Pada tahun 1986, komisi ini berhasil mengidentifikasi lima jenis pornografi Sexually violent materiayaitu materi pornografi dengan menyertakan kekerasan. Jenis pornografi ini tidak saja menggambarkan adegan seksual secara eksplisit tetapi juga melibatkan tindakan kekerasan.Nonviolent material depicting degradation, domination, subordination,or humiliation. Meskipun jenis ini tidak menggunakan kekerasan dalam materi seks yang disajikannya, di dalamnya terdapat unsur yang melecehkan perempuan, misalnya adegan melakukan seks oral, atau “dipakai” oleh beberapa pria, atau melakukan seks dengan binatang nonviolent and nondegrading materials adalah produk media yangmemuat adegan hubungan seksual tanpa unsur kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan. Contoh pornografi jenis ini adalah adegan pasangan yang melakukan hubungan seksual tanpa paksaan.Nudity, yaitu materi seksual yang menampilkan model telanjang,Child Pornography adalah produk media yang menampilkan anak atau remaja sebagai modelnya.Dari limakategori pornografi tersebut, dalam perkembangannya kemudian ragam pornografi secara muatan ini disederhanakan menjadi tiga jenis yaituSoftcore, Hardcore,danObscenity(kecabulan). Pada pornografi Softcore, biasanya hadir materimateri pornografi berupa ketelanjangan, adeganadegan yang mengesankan terjadinya hubungan seks (sexually suggastve scenes) dan seks simulasi (simulated sex). Untuk  Hardcorekita di Indonesia mengenalnya sebagai triple X (X rated), materi orang dewasa (adult material), dan materi seks eksplisit (sexually explicit material) seperti penampilanclose upalat genetikal dan aktivitas seksual, termasuk penetrasi.Sedangkan sesuatu dianggapObscenityatau kecabulan oleh publik Amerika Serikat, bila sesuatu tersebut menyajikan materi seksualitas yang menentang secara ofensif batasbatas kesusilaan masyarakat, yangmenjijikkan, dan tidak memiliki nilai artistik, sastra, politik, dan saintifik. Untuk itu, batasan kecabulan di tiap Negara bagian berbedabeda,tergantung standar komunitas setempat, alias tidak bersifat nasional. Namun demikian, kita bisa mengelompokkan pornografi anak, yakni menggunakan anak sebagai objek, hubungan seks dengan hewan, yang merendahkan martabat manusia (melecehkan harga diri seseorang), menggunakan kekerasan, dan atau sadisme.
       2.   Pornografi Di Dalam Negeri
Menurut Azimah Soebagijo (2012) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu media elektronik, media cetak dan media luar ruang.
          a.  Pornografi  Media Elektronik
misalnya berupa hal-hal berikut : rekaman lagu lagu berlirik mesum atau lagulagu yang mengandung bunyi-bunyian atau suarasuara yang dapat diasosiasikan dengan kegiatan seksual.Cerita pengalaman di radio dan telepon (sex phoneJasa layanan pembicaraan tentang seks melalui telepon (party lineFoto digital porno atau fasilitas video porno melalui telepon seluler yang semakin canggih dengan teknologibluethooth.Filmfilm yang mengandung adegan seks atau menampilkan artis dengan berpakaian minim atau tidak (seolaholah tidak) berpakaian.Penampilan penyanyi atau penari latar dengan pakaian serba minim dan gerakan sensual dalam klip videomusik di TV dan VCD.Situssitus serta berbagai bentuk layanan internet.
          
        b.  Pornografi  Media Cetak,
Misalnya sebagai berikut :Gambar atau foto adegan seks atau artis yang tampil dengan gaya yang sensual.Iklan-iklan di media cetak yang menampilkan artis dengan gaya yang menonjolkan daya tarik seksual yang biasanya ditemukan pada iklan parfum, mobil, handphone , party line dan sebagaina.Fiksi dan komik yang menggambarkan adegan seks dengan cara sedemikian rupa sehingga membangkitkan hasrat seksual.Bukubuku tentang teknikteknik bercinta.Berita kriminal kejahatan seksual yang dibuat sangat detail sehingga membuat pembaca justru “menikmati” daripada empati terhadap korban.
    
        c.  Pornografi Media Luar Ruang.
Wujud dari materi pornografi yang menggunakan media ini antara lain sebagai berikut :Billboardatau papan reklame dari suatu produk yang menggunakan model yang berpenampilan sensual (biasanya produk pakaian dalam wanita/ pria).Posterposter atau spanduk/ baliho promp film layar lebar yang terpampang di bioskopbioskop.Lukisan atau gambar seronok yang biasa terpampang di badan belakang truk-truk besar.

     2.5.  Pornografi Remaja,
         1.  Remaja
            Kehidupan sebagai remaja merupakan salah satu periode dalam rentang kehidupan
manusia. Banyak terjadi perubahan baik dari segi fisik maupun psikis. Menurut Elida
Prayitno (2006: 49) perubahan yang terjadi pada awal masa remaja meliputi perubahan
sistem pencernaan, perubahan sistem syaraf, perubahan sistem pernafasan, dan perubahan
organ seks. Dalam masa perubahan organ seksual, baik primer maupun sekunder itu,
sebagian remaja mengalami kesulitan seperti merasa sakit saat haid, perasaan sedih dan
kecewa karena tidak percaya diri dengan perubahan tubuh.
Kurangnya pendidikan seksual terhadap remaja akan menimbulkan penyimpangan
tingkah laku seksual pada remaja.
                      Menurut Sarlito W. Sarwono (2008: 143), secara umum
pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang
jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran,
tingkah laku seksual, hubungan seksual dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan, dan
kemasyarakatan. Menurut Sudarsono, ( 1990: 7) pemahaman dan pengetahuan remaja akan
masalah seksual pada dasarnya telah tumbuh dalam kehidupan dilingkungan keluarga.
Namun seringkali karena remaja masih malu membicarakan seks kepada orang tuanya,
remaja sering mencari informasi dari media ataupun dari orang lain. Lebih jauh lagi,
berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan tentang seks
dapat diperoleh melalui media masa (televisi, video, radio, dan film) yang semuanya tidak
bisa dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Apabila orang tua jarang mengawasi
anak-anak dan  remajanya, kurang memberi dukungan, dan menerapkan pola disiplin secara
tidak efektif, maka akan menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku pada anak dan  remaja.

        2.  Kenakalan Remaja
                      Perkembangan teknologi memiliki andil terhadap terjadinya perilaku menyimpang remaja atau kenakalan remaja. Hal ini sesuai dengan penjelasan Jensen (Sarlito W . Sarwono2008) yang mendasari asal mula kenakalan remaja yang digolongkan kedalam teori sosiogenik yaitu teori-teori yang mencoba mencari sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan juga masyarakat. Dalam kaitan ini masyarakat Indonesia telah mulai merasakan keresahan tersebut terutama mereka yang berdomisili di kota-kotabesar, masalah tersebut cendrung menjadi masalah nasional yang semakin sulit dihindari ditanggulangi, dan diperbaiki kembali (Sudarsono, 1990: 5). Sedangkan menurut RP Borrong (2007: 7) film porno dapat mempengaruhi sikap dan perilaku remaja/siswa dimana sikap dan perilaku tersebut dapat terjadi apabila terdapat dorongan dalam diri remaja untuk menyaksikan tayangan dan mengimitasi hal-hal yang terdapat dalam film porno. Sebenarnya film merupakan hiburan yang murah dan praktis. Akan tetapi dengan semakin banyaknya film porno, seperti kecendrungan remaja/siswa menonton film porno akan mengakibatkan siswa sulit berkonsetrasi dalam belajar, sehingga hasil belajarnyarendah.


        3.  Seksualitas Remaja,
               Kemajuan teknologi dewasa ini memudahkan siswa untuk memperoleh informasi
dari media massa. Informasi seperti ini cenderung menjerumuskan remaja/siswa pada
permasalahan seksual dan tingkah laku seksual yang tidak bertanggung jawab. Hal ini bisa
menyebabkan pemahaman yang keliru tentang pendidikan seks, sehingga siswa bisa
terjebak dalam perilaku seksual yang menyimpang. Sebagaimana dipaparkan Elizabeth B
Hurlock (1997: 212), informasi tentang seks coba dipenuhi remaja dengan cara membahas
bersama teman-teman, membaca buku-buku tentang seks atau mengadakan percobaan
dengan jalan masturbasi, onani, bercumbu atau berhubungan seksual.
Upaya yang dilakukan oleh guru pembimbing di sekolah dalam memberikan
pemahaman kepada siswa akan pengaruh video porno terhadap perilaku seksual
menyimpang, yaitu memberikan berbagai layanan, seperti layanan informasi, layanan
bimbingan kelompok, dan konseling kelompok (Prayitno,2004: 2). Dalam
menyelenggarakan layanan-layanan tersebut, guru pembimbing memberikan materi terkait
dengan masalah seksual, video porno, dan juga materi tentang bagaimana menghindari
terjadinya perilaku seksual.

 2.6.   Penyabab Pornografi.
                 Tindakan pornografi dikalang remaja disebabkan oleh karena :
       1. Perasaan Lawan Jenis
      Menjadi pintu masuk pornografi dalam diri remaja. Keingintahuan pada lawan jenis mendorongnya untuk melihat gambar atau lukisan porno. Selain itu kualitas diri pribadi remaja itu sendiri, seperti : perkembangan emosional yang kurang bahkan tidak sehat, adanya hambatan dalam perkembangan hati nurani yang bersih dan agamis, ketidak mampuan mempergunakan waktu luang secara sehat dan ekonomis, kelemahan diri dalam mengatasi kegagalan dengan memilih kegiatan alternatif yang keliru dan pengembangan kebiasaan diri yang tidak sehat di dalam kehidupan sehari – hari.

       2. Kualitas Keluarga  
Seperti rumah dan keluarga dengan situasi yang gersang dari kasih sayang dan pengertian, ekonomi yang tidak mendukung kemauan dan kesempatan belajar, pergeseran nilai dan moral kesusilaan warga masyarakat.

       3. Program Media Massa
Remaja  tidak lagi mengejar impian dan nilai – nilai moral, tetapi sebaliknya menyerap nilai – nilai yang menyimpang dari masyarakat yang sakit. Mengajarkan orang untuk berbuat licik, jahat, membunuh, dan seni berbohong. Tayangan yang berbau kekerasan, seksual, banyak memengaruhi jalan pemikiran permirsa. Akibatnya mereka menganggap hal – hal tersebut sebagai sesuatu yang normal untuk dilakuhkan merusak perkembangan moral yang sehat, dan kondisi setempat yang merangsang remaja tumbuh ke arah prilaku seksual yang tidak sehat.

       4. Teknologi Internet
Teknologi internet yang semakin berkembang dan bertambah maju mengakibatkan remaja semakin mudah untuk mengakses situs – situs, terutama situs yang menyimpang atau situs porno.

  2.7.   Pencegahan Pornografi.
            Terjadinya penyimpangan seksual di kalangan remaja tentunya harus di tanggulangi sedini mungkin. Terlebih remaja adalah bagian masyarakat yang akan bertanggung jawab pada kemajuan suatu bangsa. Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi, penanaman agama, pembiasaan melakukan ibadah yang tepat hingga menumbuhkan kesadaraan diri, memberi contoh teladan yang sehat, menciptakan lingkungan yang sehat, bersih, dan peninjauan kembali media massa dan teknologi dan internet yang berhubungan dengan penyimpangan seksual.
          Upaya penanganan terhadap bahaya pornografi ini dapat dilakukan melalui dua hal. Pertama, penanganan Internal, yaitu: meningkatkan ketahanan diri dan keluarga terutama pada anak dan remaja. Kedua, penanganan Eksternal, yaitu : Adanya regulasi yang tegas dan payung hukum yang memadai.  Sebenarnya telah ada undang-undang yang dapat mencegah adanya  pornografi  melalui media massa (cetak dan elektronik), yaitu UU No. 44 tentang  anti pornografi dan pornoaksi (APP) dan   UU no. 11 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) serta KUHP pasal 282 dan 283 tentang pelanggaran kesusilaan. 
  




BAB III
TAHAPAN SAUNG PANGIUHAN BARUDAK (SPB)
3.1. Pengantar.
         Saung Pengiuhan Barudak (SPB) berasal dari tata bahasa Sunda yang mempunyai arti Tempat berteduh anak , ini hanyalah arti kiasan saja. Karena arti sebenarnya kegiatan ini merupakan  system perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat untuk kegiatan perlindungan  anak korban dampak pornografi, kekerasan seksual, dan pergaulan bebas, pernikahan dini, kehamilan tak dikehendaki  dan kerentanan kesehatan reproduksi serta  keterbatasan  keterampilan literasi dan kreativitas anak.
          SPB ini dikatakan terpadu karena melibatkan anak sebagai actor utama dan para pihak terkait perempuan (ibu), orang tua, guru/sekolah, para ulama/tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pihak pemerintah daerah (SKPD) dan lembaga sosial-kemasyarakatan lainnya. Komponen kegiatan meliputi pencegahan, perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, dan pendampingan sosial dengan berbasis masyarakat dalam arti  mendayagunakan sumber dan potensi yang dimiliki masyarakat serta berlandaskan kepada ajaran agama Islam, nilai-nilai, adat istiadat dan kearifan local masyarakat Sunda di Jawa Barat dan semboyan masyarakat Kabuputen Bandung yaitu Sabilulungan.
          Kegiatannya dimulai dengan Satu, Kegiatan Persiapan meliputi pembetukan team kerja, pembuatan modul, sosialisasi public, perekrutan peserta dan pelatih, Kedua Kegiatan Pelaksana meliputi kegiatan pelatihan di kelas, kegiatan tutorial  masyarakat, kegiatan aksi sosial, kegiatan focus group diskusi, kegiatan festival anak Ketiga Kegiatan terpadu dengan program perlindungan anak sejenis di tingkat desa/kelurahan seperti posyandu, pos stunting, forum anak, kelompok remaja, karang taruna, remaja mesjid, Penanganan Kekerasan Anak Berbasis Masyarakat (PKABM) dan lainnya. Keempat kegiatan Moneva dan Rujukan yaitu monitoring dan evaluasi serta rujukan bila terjadi kasus atau korban anak yang memerlukan penanganan lebih lanjut.

3.2. Kegiatan Pencegahan
Kegiatan Pencegahan dilakukan oleh Pemerintah Daerah  dan masyarakat  melalui:
1. Peran Pemerintah
(1)       Pencegahan  melalui:
a.      koordinasi satuan kerja perangkat daerah yang membidangi anak dan perempuan dengan penegak hukum, lembaga kemasyarakatan, institusi pendidikan, media dan masyarakat;
b.     kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang pencegahan dan penanggulangan pornografi dan pornoaksi kepada lembaga kemasyarakatan, institusi pendidikan, organisasi masyarakat dan media;
c.      peningkatan kesadaran masyarakat dan tangggung jawab melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan tentang perlunya bahaya pornografi dan pornoaksi;
d.     pembinaan melalui sistem informasi; dan
e.     advokasi bahaya pornografi dan pornoaksi yang dilakukan secara terpadu dan terus menerus.



(2) Untuk melakukan pencegahan Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi;
c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi;
d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi;
e. menetapkan penggunaan sistem filterasi atau cara-cara lain untuk menghambat akses terhadap Produk Pornografi sebagai syarat perizinan usaha layanan akses internet daerah; dan
f. menetapkan perizinan bagi usaha yang menggunakan layanan akses internet di daerah.

2. Peram Orang Tua
1) Orang tua berperan aktif dalam pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi di lingkungan keluarganya.
2) Peran orang tua  sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi di keluarganya;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d.melakukan edukasi kepada anggota keluarganya terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara dini kepada anggota keluarganya secara ramah dan penuh penghormatan

3. Peran Guru
1) Guru/Tenaga pendidik berperan aktif dalam pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi di lingkungan sekolahnya.
2) Peran guru/tenaga pendidik   dapat dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi di sekolahnya;
      b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi;
 d. melakukan edukasi kepada siswa sekolahnya terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara kepada siswa secara ramah dan penuh penghormatan
4. Peran Ulama
1) Tenaga rohaniawan/ulama berperan aktif dalam pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi di lingkungan tempat ibadah dan umatnya.
2) Peran tenaga rohaniawan/ulama  dapat dilakukan dengan cara:
a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai tindakan atau kegiatan pornografi dan pornoaksi di tempat ibadah dan umatnya;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan edukasi kepada warga masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara dini kepada  warga masyarakat secara ramah dan penuh penghormatan
5. Peran Masyarakat
   1) Masyarakat berperan aktif dalam pencegahan bahaya pornografi dan pornoaksi.
   2) Peran masyarakat  dapat dilakukan dengan cara:
 a. menyampaikan informasi dan/atau pelaporan mengenai tindakan atau kegiatan   pornografi dan pornoaksi diwilayahnya;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan edukasi kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
e. Memberikan pendidikan seks secara dini kepada  warga masyarakat secara ramah dan penuh penghormatan

3.2  Perlindungan Sosial
1. Pelaksanakan perlindungan sosial sebagaimana Pemerintah Daerah melakukan:
f.      koordinasi;
g.      sosialisasi;
h.     pendidikan dan pelatihan;
i.       meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat; dan
j.      Pelayanan LKS sistem panti dan non panti.
k.     Pelayanan P2TP2A
l.       Pelayanan LK3
m.    Pelayanan UPPA
n.      Pelayanan Lembaga pendidikan/sekolah
o.      Pelayanan Lembaga sosial masyarakat (LSM)
p.     Pelayanan Lembaga Keagamaan.
q.      Pelayanan Pos SLRT

2. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga pelayanan sosial  antara lain  paling sedikit melakukan:
a. bimbingan mental spiritual;
b. bimbingan fisik, disiplin, dan kepribadian;
c. konseling;
d, pelayanan program pendidikan mandiri;
f. pelatihan vokasional;
g. penggalian potensi dan sumber daya; dan/atau
h. peningkatan kemampuan dan kemauan.

3. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan/sekolah paling sedikit melakukan:
a. kegiatan penanaman nilai-nilai budi pekerti;
b. pengawasan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi di lembaga pendidikan/sekolah;
c. pengintegrasian bahan kajian pencegahan pornografi pada mata pelajaran yang relevan;
d. kegiatan ekstrakurikuler yang mengarahkan anak agar terbebas dari pengaruh pornografi; dan
e. sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pornografi.

4. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM) dan Lembaga Keagamaan  paling sedikit melakukan kegiatan:
a. bimbingan sosial dan keagamaan yang meliputi aspek keimanan, sosial kemasyarakatan, dan akhlak;
b. pemberian motivasi untuk memahami dan mengamalkan nilai sosial dan nilai-nilai keagamaan; dan
c. konseling sosial dan keagamaan.

5. Perlindungan sosial yang dilaksanakan oleh keluarga dan/atau masyarakat:
a. mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang dihadapi anak yang menjadi korban atau pelakupornografi;
b. memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai moral dan agama serta bahaya dan dampak pornografi;
c. membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
d. mengawasi pergaulan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi;
e. mengawasi penggunaan sarana komunikasi dan sarana informasi yang digunakan oleh anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi; dan/atau
f. melakukan kegiatan lain dalam rangka pembinaan terhadap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.

3.3. Pendampingan Sosial
1. Pelaksanakan pendampingan sosial dalam hal ini Pemerintah Daerah menyediakan:
r.      pekerja sosial profesional
s.      tenaga kesejahteraan sosial;
t.      tenaga pendamping sosial
u.      tenaga relawan sosial
v.      tenaga kesehatan/medis ;
w.     tenaga rohaniawan/ulama;
x.     tenaga pendidik/guru; dan
y.      tenaga bantuan hukum.
2. Pendampingan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga pelayanan sosial  antara lain  melakukan:
a. konseling;
b. terapi psikologis;
c. advokasi sosial;
d. peningkatan kemampuan dan kemauan;
e. penyediaan akses pelayanan kesehatan; dan/atau
f. bantuan hukum.

3. Pendampingan sosial yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan/sekolah, paling sedikit melakukan:
a. pencegahan dengan memberikan kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya pornografi melalui pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang dapat mencegah terjadinya tindakan pornografi;
b. bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi di bidang bimbingan dan konseling;
c. pendidikan khusus; dan/atau
d. kegiatan lain yang diperlukan.

4. Pendampingan sosial yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan Lembaga Keagamaan  dilakukan melalui peningkatan:
a. kesadaran dan pengetahuan tentang dampak buruk pornografi;
b. motivasi dan keyakinan tentang kehidupan masa depan yang lebih baik; dan
c. kepercayaan diri

5. Pendampingan sosial yang dilakukan oleh keluarga dan/atau masyarakat, paling sedikit melakukan:
a.  memberikan dukungan psikologis;
b. memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya; dan/atau
c. membangun hubungan yang setara dengan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan permasalahannya.

3.4.  Rehabilitasi Sosial
1.  Rehabilitsi Fisik dan Mental
1). Pelaksanakan pelayanan rehabilitasi fisik dan mental dalam hal ini Pemerintah Daerah menyediakan:
a. pekerja sosial profesional
b. tenaga kesejahteraan sosial;
c. tenaga pendamping sosial
d. tenaga relawan sosial
f. tenaga kesehatan/medis ;
g. tenaga rohaniawan/ulama;
h. tenaga pendidik/guru; dan
i.  tenaga bantuan hukum.

2) pelayanan rehabilitasi fisik dan mental yang dilakukan oleh lembaga pelayanan sosial  dalam melaksanakan rehabilitasi fisik dan mental, meliputi:
a. terapi psikososial;
b. konseling;
c, kegiatan yang bermanfaat;
d. rujukan ke rumah sakit, rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat alternatif lain sesuai dengankebutuhan; dan/atau
e. resosialisasi.

3) pelayanan rehabilitasi  fisik dan mental yang dilakukan lembaga pendidikan/sekolah:
a. memberikan bimbingan dan konseling di bawah pengawasan guru pembimbing di satuan pendidikan; dan
b. mengantarkan ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam hal anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi mengalami penderitaan fisik.

4) pelayanan rehabilitasi fisik dan mental yang dilaksanakan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM) dan Lembaga Keagamaan:
a. memotivasi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama;
b. mendorong dan melibatkan anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan keagamaan; dan
c. memantau anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.
 
5) pelayanan rehabilitasi fisik dan mental yang dilaksanakan oleh keluarga dan/atau masyarakat:
a. memberikan dukungan psikologis;
b. melakukan pengasuhan secara berkelanjutan; dan
c. mendampingi anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi selama masa pemulihan.

6) Penanganan pelayanan rehabilitasi fisik dan mental dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten yang kompeten.
(2)      Penanganan rehabilitasi fisik dan mental dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(3)      Layanan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kuratif dan rehabilitatif.
(4)      rehabilitasi fisik dan mental yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan diberikan dalam bentuk pelayanan yang meliputi:
a.         pemeriksaan fisik, mental, dan kesehatan inteligensia;
b.         pengobatan; dan
c.         pencegahan terhadap penyakit menular.
(5)      Bentuk pelayanan pemeriksaan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.         konseling; dan
b.         terapi perorangan/individu, keluarga, dan kelompok.
(6)      Bentuk pelayanan pemeriksaan kesehatan inteligensia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf ameliputi:
a.         identifikasi gangguan kesehatan inteligensia;
b.         pemeliharaan kesehatan inteligensia; dan
c.         pemulihan kesehatan inteligensia.
(7)      rehabilitasi fisik, mental, dan kesehatan inteligensia, dilaksanakan berdasarkan standar profesi, standar operasional prosedur, dan standar pelayanan.

3.5. Rehabilitasi Sosial
1. Pelaksanakan pelayanan rehabilitasi sosial  dalam hal ini Pemerintah Daerah dilakukan oleh tenaga rehabilitasi sosial antara lain:
a.      pekerja sosial profesional
b.     tenaga kesejahteraan sosial;
c.      tenaga pendamping sosial
d.     tenaga relawan sosial
e.     tenaga kesehatan/medis;
f.      tenaga rohaniawan/ulama;
g.      tenaga pendidik/guru; dan
h.     tenaga bantuan hukum.

2. Pelayanan rehabilitasi sosial  diberikan dalam bentuk:
        a. motivasi diri
        b. terapi psikososial;
        c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
        d. bimbingan mental spiritual;
        e. bimbingan fisik;
        f. bimbingan sosial
        g. bimbingan konseling;
        h. pelayanan aksesibilitas;
i.          bantuan dan asistensi sosial;
j.               bimbingan resosialisasi;
k.         bimbingan lanjut; dan/atau
l.               bimbingan rujukan.

3. Pelayanan rehabilitasi sosial  dilaksanakan dengan tahapan:
       a. Penjangkau dan pendekatan awal
       b. pengungkapan dan pemahaman;
       c. penyusunan rencana intervensi;
       d. pelaksanaan intervensi;
       e. monitoring dan evalusai
       f. terminasi dan rujukan
       g. resosialisasi dan bimbingan lanjut.

5. Pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan/sekolah dengan memberikan bimbingan konseling yang dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi.
6. Pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh lembaga sosial masyarakat (LSM) dan lembaga keagamaan, meliputi:
a. pemberian motivasi;
b. pengasuhan;
c. penyuluhan sosial dan keagamaan;
d. pembimbingan sosial dan keagamaan yang berkelanjutan; dan
g. pembimbingan dan pelatihan tentang keteraturan, kedisiplinan, keteladanan dan memahami serta mengamalkan nilai sosial dan ajaran agama secara baik.

7. pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh keluarga dan/atau masyarakat:
a. berempati dan tidak menyalahkan atas permasalahan yang dihadapi;
b. memberikan rasa nyaman dalam meningkatkan kepercayaan diri; dan/atau
c. memberikan motivasi agar anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi dapat mengatasi permasalahannya.
3. 6. Pembentukan Satuan Tugas
1. Satuan Tugas SKPD
a. Untuk mendukung pencegahan penindakan dan penanganan  pornografi, Pemerintah Daerah dapat membentuk Satuan Tugas.
b. Satuan Tugas`berkedudukan di bawah koordinasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana dan bertanggung jawab kepada Bupati
2. Fungsi dan Tugas 
a. mengkoordinasikan upaya pencegahan penindakan dan penanganan masalah pornografi;
b. memantau pelaksanaan pencegahan penindakan dan penanganan pornografi;
c. melaksanakan sosialisasi, edukasi dan kerjasama pencegahan penindakan dan penanganan pornografi; dan
d. melaksanakan evaluasi dan pelaporan.